Dua macam harapan:
1. Realistic Hope. Harapan yang sesuai dengan kondisi realita dan kemampuan yang ada. Harapan yang dapat dipenuhi pasangannya.
2. Unrealistic Hope. Harapan yang tidak sesuai dengan realita atau kemampuan yang ada. Pasti ujung-ujungnya konflik karena pasangannya tidak kuasa menyanggupi.
Realistic Hopes seperti apa?
Diukur dari kemampuan. Jika suami atau isteri mampu, bolehlah kita berharap.
Misalnya, Anda berharap setiap malam keluarga bisa berkumpul untuk berdoa, suami sudah pulang sejak jam 7 malam. Jadi, ini harapan yang masuk akal.
Atau, saya berharap isteri menyediakan makan pagi sebelum saya pergi kerja. Isteri bangunlah lebih pagi dan rencanakan apa yang akan dihidangkan. Tidak sulit dan bisa diperjuangkan.
Di atas adalah contoh-contoh yang realistik. Kemampuan pasangan ada, maka bolehlah berharap.
Mari kita diskusikan, bila ada seorang istri mengharapkan suaminya menjadi family man. Apakah harapan ini realistik atau tidak? Bagaimana kita mendefinisikannya? Pertama, harus melihat apakah suaminya mampu atau tidak. Jika ia dibesarkan dalam keluarga yang ayah ibunya berperan dengan baik (fungsional family), pasti mampu.
Sebaliknya, dia akan mengalami kesulitan kalau ternyata latar belakang keluarganya dysfunction. Ayah telah meninggalkan ibunya sejak lama. Sampai dewasa tidak pernah menerima satu warisan yang indah dari seorang ayah yang memperhatikan keluarga.
Kalau begini, isteri harus benar-benar peka, ”Mampu tidak ya suamiku menjadi family man?”
Tentu kerinduan sang isteri bisa menjadi Realistic Hope jika diberikan waktu dua sampai tiga tahun. Dilengkapi komitmen untuk membantu suaminya, juga tekad bersama untuk belajar melalui membaca banyak buku, mengikuti seminar-seminar keluarga sampai mencari pendampingan dari mentor pernikahan.
Tapi jika mengharapkan suami berubah dalam waktu singkat, jadilah Unrealistic Hope. Karena tidak memberikan waktu yang cukup bagi suami belajar, mengembangkan diri dan melakukan perubahan.
Unrealistic Hopes, apa saja?
1. Mengharapkan pernikahan dapat menghilangkan kesunyian. “Aduh sekarang sudah menikah, tapi kok masih kesepian…” Suami toh harus bekerja. Lazimnya di awal pernikahan, dengan tanggung jawab memenuhi perekonomian, suami sangat memprioritaskan pekerjaan.
Kesepian adalah natur keberdosaan manusia. Kekosongan jiwa seperti ini hanya bisa terpuaskan oleh Tuhan dan sulit jika hanya berharap dapat diisi pasangan saja.
Jika kesepian menguasai, seyogyanya membangun intimasi dengan Tuhan. Dia berkata,”Aku adalah Allah yang Immanuel. Damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak bisa diberikan oleh dunia, termasuk pasanganmu sendiri.”
2. Mengharapkan pernikahan happily ever after. Seperti dongeng-dongeng Cinderella. Setelah menikah, ada Prince Charming dan Beautiful Princess yang selalu berbahagia. Padahal, pasti ada masa-masa unhappiness yang diijinkan Tuhan guna menambah dimensi kehidupan dan mendewasakan suami istri.
3. Mengharapkan pasangan berbuat sesuai dengan yang saya inginkan. Ketika diskusi, saya ingin nada suara pasangan pelan terus. Celakanya, pasangan bukan berasal dari keluarga dengan tone rendah. Mungkin waktu berdiskusi di keluarganya dulu sudah biasa dengan nada yang meninggi. Juga biasa berbeda pendapat, so kalau ngomong kedengaran seperti orang marah-marah.
Mengapa dia menuntut pasangan berbicara dengan pelan? Mungkin dia teringat, dulu…waktu papa mamanya sedang berdiskusi, dan ketika suara ibunya meninggi. Tidak lama kemudian kedengaran… Papanya mulai marah dan berakhir dengan memukul ibunya. Hari ini, saya memberi satu syarat: Kalau berdiskusi suaranya jangan kenceng-kenceng ya!
Trauma masa lalu membuat dia takut pengalaman ayah ibunya akan terulang kembali sekarang. Jelas ini Unrealistic Hope. Pastinya tidak mengizinkan ada emosi dalam diri pasangan saat berbicara. Jika ada tuntutan yang berlebihan, pasangan sewajarnya diberitahu alasan yang melatar belakangi, supaya suami istri akhirnya dapat saling menolong untuk menghadirkan perubahan yang disepakati bersama.
4. Mengharapkan yang ideal tanpa melihat kemampuan.
Ada sebuah keluarga yang keuangannya tidak mampu mencicil rumah. Unrealistic Hopes sang isteri menuntut suaminya. Padahal dia tahu berapa gaji sang suami, sudah habis pula untuk cicilan mobil. Sang isteri keras berharap dalam 1-2 tahun harus sudah punya rumah. Pindah dari Pondok Mertua Indah.
Akhirnya, ini menjadi konflik berkepanjangan. Sebenarnya, suami mau tidak beli rumah? Ya Mau dong, tapi mampu tidak? Belum mampu! Jangan terus memaksa pasangan sehingga menjadi sumber konflik.
5. Mengharapkan tidak ada konflik dalam rumah tangga. Inipun Unrealistic Hope. Damai bukan tidak adanya konflik. Dalam kedamaian terkadang juga ada perselisihan, tapi bisa diselesaikan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan hubungan dangkal dan formal, tidak pernah melihat ayah ibunya marah-marahan. Sebenarnya hubungan yang sangat dalam dan intens adalah hubungan yang mengizinkan konflik hadir tapi kemudian bisa diselesaikan dengan baik.
Apa Unrealistic Hope Anda yang masih terus membayangi & menjadi sumber konflik berkelanjutan dalam pernikahan Anda?
Pdt. Chang Khui Fa
Passionate Marriage Mentor
GnTbK, p. 122-125