Bab 9
Adaptability & Fleksibility
Cakap Mengatasi Perubahan
Adaptability and Flexibility. Siapakah dia? Apa faedahnya dalam mengarungi kehidupan pernikahan? Mari kita buka bab ini dengan sebuah kisah nyata supaya lebih membumi.
1. Kemampuan Tubuh Beradaptasi
Kota Bandung pernah dijuluki Kota Sampah. Sungguh tragis! Kota Kembang yang seharusnya wangi semerbak malah bau busuk merebak. Saat saya jalan-jalan di Pasir Kaliki, baunya tidak tahan, pengen muntah rasanya. Sungguh tidak kuat. Aduh! Baunya setahun pelayaran. Begitu terendus, jadilah saya berjalan sambil lari-lari kecil.
Di sisi lain, Anda pasti pernah melihat ada orang-orang makan, bahkan tinggal di tengah gundukan sampah. Kenapa bisa begitu?
Karena tubuh mereka telah beradaptasi. Mungkin pertama kali makan, rasanya mual sekali. Bau anyir, tak mungkin bisa ditelan, tapi lihat teman-temannya yang sudah menahun tinggal di situ, kok makan dengan lahap. Perlahan-lahan indera perasa mengerahkan kemampuannya. Beradaptasi.
Lama-lama bau sampah yang sangat menyengat sudah tidak terasa. Asyik aja tuh. Sambil jongkok, makan dengan nikmat, ditemani satu piring lauk sambal terasi. Hasilnya, Enjoy Aja!
Contoh lain, kalau berlibur ke Puncak Pass. Brrrr dingin sekali! Pastilah jaket tebal melekat erat. Tapi, anak-anak di sana kok pakai kaos oblong, lari-lari di halaman. Di Puncak anak kita pasti sudah dibungkus baju tebal, syal, sarung tangan, jaket dan topi. Supaya tidak haa cih haa cih.
Tubuh manusia dicipta Tuhan sangat spesial. Cakap beradaptasi untuk hal apa saja. Termasuk pikiran, perasaan, dan indra perasa dapat diajar dan dilatih, sehingga kuat menandingi perubahan. Manusia bisa bertahan di dunia karena kemahiran adaptasinya.
Apa kaitan bau sampah plus dinginnya Puncak Pass dengan suami isteri?
2. Peranan Adaptasi dalam Pernikahan
Sangat erat, untuk mempertahankan pernikahan seumur hidup, obatnya adalah kecakapan adaptasi yang ekstra. Resepnya harus ditebus suami isteri tiap hari, supaya makin ahli. Apalagi dalam pernikahan, terlalu beragam dinamika yang muncul. Sebenarnya, sejak pacaran, obat ini pernah ditebus sedikit, tanpa disadari.
Misalnya, sebelum pacaran saya biasa nyampe rumah jam lima sore sepulang kerja. Begitu punya pacar. Tiap hari wakuncar dulu. Wajib hukumnya. Pulang-pulang jam 10 malam. Eh, besok paginya ngebut lagi ke kantor. Tapi, ga masalah tuh. Biasa aja.
Dalam pernikahan, kepiawaian adaptasi dan fleksibilitas diperlukan setiap hari. Pernikahan adalah menyatunya dua pribadi dengan karakter, kebiasaan, latar belakang, respons, intelektual, emosi, jiwa, hobi, keinginan, dan natur seks yang berbeda. Nah, saat disatukan, apa yang mungkin terjadi?
Misalnya, harapan berbenturan dengan realita:
Ada seorang anak wanita. Sejak kecil, ayahnya selalu pulang On Time. Karenanya, setiap malam, ayah, ibu dan anak terbiasa makan malam bersama.
Singkat cerita, dia dewasa, berpacaran dan menikah. Dipinang seorang Salesman. Bagi Sales sulit meng-fixkan waktu. Jam kerja bisa kapan saja, tergantung order.
Mari kita perhatikan. Dalam pernikahannya, isteri teringat ayahnya dulu selalu pulang On Time. Dia sangat berharap suaminya begitu. Makan malam bersama setiap hari, persis seperti keluarganya.
Saat Gres menjadi isteri, dia siapkan makan malam yang enak. Celakanya, suami tidak pernah Teng Go. Yang terjadi kemudian? Muncul riak-riak konflik. Pribadi kaku biasanya rentan masalah.
”Kamu kenapa enggak bisa pulang On Time sih?” tanya sang isteri.
”Sorry, Say. Aku harus menemani klien makan!” kata suaminya.
Besok hari,”Maafkan Daku, Sayang, klienku tadi datangnya terlambat!”
Satu atau dua kali, bisa dimengerti. Kalau sudah setiap hari, No More Sorry For You! Menjelajah kedalaman hati sang isteri ada satu tuntutan yang baginya gampang sekali. Cuma pulang tepat waktu, apa sih susahnya? Papaku puluhan tahun bisa, No Problem. “Kamu ini keterlaluan! Enggak mau nyenangin aku ya? Kamu tidak cinta Aku!” teriaknya histeris sembari hatinya seperti diiris sembilu.
Mengarungi kedalaman hati sang suami. Dia berpikir,”Aneh… pasanganku ini. Gitu aja kok diributin, sampai ngamuk segala. Ga masuk akal. Makan ya makan. Kenapa mesti makan sama-sama tiap hari?” Apalagi kalau dia minus pengalaman makan bersama orang tua. Apa toh pentingnya? Kalau suami kaku, tetap pulang semau dewe. Nah…Anda pasti cakap membuat skenario selanjutnya.
Sekarang, alasan suami makin beragam dan kreatif bahkan sekarang sudah membela diri,”Sayang, mana bisa aku on time. Aku kan mesti kejar orang. Kalau orangnya meeting masa aku tinggal. Aku tunggu dong sampai selesai…!” Kali ini dengan nada lebih tinggi, memastikan isterinya maklum.
Diberi nada tinggi. Isteri emosi. Tersinggung, smash balik. Sayangnya keluar garis. Akhirnya, suami ikut-ikutan ngamuk dibuatnya.
Lihat tuh, isunya sudah berubah. Bukan lagi soal pulang on time, tetapi cara bertutur yang dirasa tidak pas. Ruwet ya…
Sebenarnya, suami ingin sekali menyenangkan isteri, apa daya pekerjaan belum mengizinkan. Karenanya, dia perlu pengertian isterinya. Apakah isteri mau memberikan pengertian itu? Kalau kaku, ya tak mau.
Nah, jika suami dan isteri mengembangkan kecakapan adaptasi dan fleksibilitas, tentu masalah tidak membesar. Semua tuduhan buruk akan mundur teratur. Pelan-pelan mencoba mencari kesepakatan. Tentunya untuk kebaikan berdua, sama-sama mencoba berubah.
Puji Tuhan, masalah sederhana ini selesai! Sang isteri tak lagi menuntut makan malam bersama setiap hari, setidaknya sekali seminggu. Tergantung persetujuan bersama. Suamipun mencoba memahami keinginan isterinya dengan beradaptasi mengatur ulang jadwalnya.
Namun…
Hidup terus berjalan. Kadang hujan kadang panas, lewat gunung lewat lembah, rasa senang, rasa susah. Masalah satu berhasil diusir, bukan berarti masalah baru malas mampir ke rumah. Ingatlah, keluarga ada di lautan dinamika yang berombak keras. Masalah pun kerap datang bertubi-tubi. Perubahan sungguh tak terhindarkan.
Anak kecil pun setiap hari beradaptasi. Dari bayi bisa merangkak, duduk, bergerak sampai berlari. Orang tua dituntut beradaptasi juga, dengan menjaga anak lebih lagi dan lebih lagi, semakin umur semakin kompleks.
Makanya, dalam kehidupan pernikahan pantang prinsip: Kemarin, besok sampai selamanya tidak berubah. Kalau tidak mau berubah namanya cari ribut. Mengatasinya, kemahiran beradaptasi dan fleksibel menjadi satu keniscayaan.
Akhirnya, pemahaman atas perjalanan pernikahan sangat diperlukan, sehingga Anda tahu di mana Rest Area, dimana bisa ngebut 140 km/jam, dimana banyak tikungannya. Pastinya, Anda lebih cakap mengendarai Sedan Pernikahan Anda, hingga selamat sampai di tujuan. Mari kita masuk ke Tahapan Pernikahan.
3. Tahapan Pernikahan
Mengawalinya, kami buka dengan kisah nyata.
MASUKKAN BOX
Maju Ke Belakang
Ketika kami menengok ke belakang, minus cakap beradaptasi, gawat sekali. Di lima tahun pertama pernikahan, kami berpindah rumah sampai lima kali. Pindah rumah 1…! Pindah rumah 2…!! Pindah rumah 3…!!! Pindah rumah 4…!!!! Pindah rumah 5…!!!!! Siap Grakkk! Aduh… Untung TIDAK KOLAPS!
Jostein putra kami jadi stress dan mengalami kemunduran. Di rumah baru yang asing, saat itu umurnya dua tahun dasarnya sudah tidak ngompol, eh… Tahu-tahu bocor lagi.
Sewaktu masih di rumah lama. Jostein sudah paham arah WC plus sudah pipis sendiri. Tidak usah ditemani. Termasuk ganti celana, tahu lemarinya ada di mana. Hafal ambil celana di laci nomor dua, baju di laci nomor tiga. Semua sudah dikuasai.
Begitu pindah rumah. Jostein mengalami kemerosotan. Lemari sudah berubah tempat ditambah bingung, WC ada di mana? Bagi anak dua tahun, perubahan sungguh tidak menyenangkan. Ada kemajuan yang retreat ke belakang. Tapi kami mensupport dia. Menolong dan mengarahkan, sampai akhirnya mampu lagi.
Persis pernikahan, jika tidak cakap diserang perubahan, pasti berjalan mundur. Sesuatu yang sudah dikuasai, ketika situasi berubah cepat, tahu-tahu kita menjadi lumpuh.
Saya sangat yakin akan pertolongan Tuhan Yesus. Dialah Tuhan yang baik yang mengarahkan hidup kita. Dengan pertolongan Tuhan, pastilah Dia memimpin layaknya orang tua kita.
Sampai hari ini kami tetap eksis. Tahun ke lima pernikahan yang terdahsyat. Kami sekeluarga hijrah dari Jakarta ke Bandung. Pindah kota, bolak balik naik mobil. Untung Jostein tidak mengalami hal yang buruk. Kali ini dia sudah lebih besar dan mahir beradaptasi. Kamipun berjuang mengatasi perubahan. Ditambah saat itu Liana sedang hamil lima bulan. Isinya putri kedua kami, Joylynne.
BOX SELESAI
Mari kita masuki ”The Passages of Marriage.” Tahapan-tahapan Pernikahan.
Semuanya ada lima:
Passages 1. Tahun 1 – 2 disebut Young Love. Cinta yang masih muda, kalau cinta masih muda jelas kuat sekali. Segar, sedang indah-indahnya dan hangat-hangatnya. Fresh from the oven. Masih enak.
Passages 2. Tahun 2 – 10 disebut Realistic Love. Kenapa realistik? Seyogyanya suami isteri extra hati-hati. Justru kerusakan, sakit hati, dan perceraian paling banyak di sini. Seperti cendawan di musim hujan. Memasuki realistic love, banyak orang tidak mencapai finish karena kurangnya kecakapan beradaptasi. Ditambah tidak fleksibel kepada pasangan, lengkaplah sudah!
Tidak fleksibel (kaku) pada polanya dulu. Dua pola suami isteri kalau digabung, ya sulit. Diilustrasikan seperti antara kayu dan karet. Kayu, sekali di CIAAAT!! langsung patah. Kalau karet di CIAAAT!! Fleksibel lentur tuing-tuing bolak-balik. Karena itu, jadilah karet yang lentur!
Passages 3. Tahun 11 – 25 disebut Comfortable Love. Pepatah bilang berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tepat sekali! Setelah berjuang 10 tahun, kalau berhasil melewati Realistic Love. Oh, indahnya. Sekarang bisa bersenang-senang. Sebab itu, masa ini disebut love yang nyaman. Mimpi buruk sudah selesai, sesungguhnya suami isteri sudah menerima satu sama lain.
Bisa lewat karena makin mahir BERADAPTASI dan FLEKSIBEL.
Hati-hati, kalau gagal di Passages 1 dan 2 bukannya jadi Comfortable Love malah Disaster Love! Keberadaan pasangan tidak lagi asyik tapi bencana! Hubungan sudah dingin, seperti karet yang getas.
Passages 4. Tahun 26 – 35 disebut Renewing Love, masa di mana anak-anak sudah besar. Suami isteri mengalami Empty Nest. Sarang kosong. Anak-anak menikah semua dan membangun keluarganya sendiri.
Dulu ada keramaian di rumah, eh… sekarang sepi sekali. Tinggal berduaan lagi. Jika hubungan suami isteri dipusatkan pada anak, Child Center, (lihat Bab 3 Romance in Marriage) bukanlah Empty Nest tapi Emptyness (kekosongan hati) yang menguasai. Love yang dulu diarahkan pada anak-anak, sekarang mau dicurahkan pada siapa? Bahaya sekali! Pihak ketiga mudah masuk.
Passages 5. Tahun 36 ke atas disebut Transcendent Love. Kasih sudah melampaui pemahaman manusia, sudah teramat cinta. Inilah tahapan terakhir. Cinta yang sudah sangat mendalam dan berada di luar ikatan fisik manusia. Young Love pengikatnya nafsu seksual, tubuh pasangan yang menarik, tutur cara bicara yang menggemaskan, dan kegagahan pasangan kita.
Memasuki Transcendent, berarti sudah 36 tahun menikah. Bayangkan, Anda menikah umur 30 tahun ditambah 36 tahun berarti over 66 tahun. Sudah uzur, apa lagi yang bisa dilihat pasangan?
Sama-sama jadi orang lemah. Suka sakit-sakitan, dulu mengisi waktu luang dengan makan di restoran. Sekarang, banyak pantangannya. Ini gak boleh, itu gak boleh, minum air putih aja deh. Tetapi, Love sudah Transcend sedemikian rupa. Melampaui masalah-masalah fisik. Bagaimanapun tetap mencintai.
Fase Generosity sudah dilewati. Mampu memberi kasih dan kebaikan bagi generasi berikutnya. Dalam pernikahan sudah berton-ton kebaikan yang dirasakan dan dialami, makanya mampu membagikan dengan murah hati. Dari mulutnya sudah keluar kata-kata bijaksana. Kehadirannya dinantikan anak cucu. Tua bukan menjadi parasit tetapi menjadi berkat dan berhikmat.
Bagi Anda sekalian yang masih muda, indah sekali jika sukses memasuki Transcendent Love.
Sekarang, mari mendalami Passages Young Love dan Realistic Love. Lamanya sekitar 10 tahun sejak Janji Nikah diucapkan.
Membangun rumah yang penting fondasinya, mesti kokoh. Kalau tidak, saat longsor pasti kolaps. Arsitek menghitung berapa banyak tingkat ke atas dan seberapa fondasi jauh ke dalam mencengkeram bumi. Mengapa suami isteri dapat mencapai Transcendent Love? Persis! Karena telah membangun fondasi Young Love dan Realistic Love dengan kuat.
Dinamika Young Love dan Realistic Love
Lamanya Young Love (1-2 tahun) dan Realistic Love (2-10 tahun) bukanlah patokan mati. Setiap pasangan memasukinya dengan kecepatan berbeda-beda. Ada suami isteri yang menikah baru satu tahun tapi sudah masuk Realistic Love. Ada juga yang sudah masuk usia empat tahun, pernikahannya Young Love terus. Apa sih penyebabnya?
Tergantung banyaknya krisis. Semakin limpah krisis menghantam pasangan maka Realistic Love hadir lebih cepat.
Apakah keintiman suami isteri dibangun atau tidak? Keintiman yang dangkal menyebabkan suami isteri sulit mengatasi dinamika yang muncul silih berganti. Kedangkalan ini lagi-lagi mengundang Realistic Love datang lebih cepat.
Apakah konflik dapat diselesaikan atau tidak? Kalau kemampuannya rendah untuk menyelesaikan, maka pasangan dipaksa nyemplung ke Realistic Love. Aduh, pasangan saya ini tidak bisa diajak kerja sama, orangnya suka menyakiti. Kalau konflik tidak pernah selesai, makin parahlah mereka. Hubungan akhirnya panas dingin. Demam tapi tak berdarah.
Kapan dan berapa banyak kehadiran anak-anak? Katakanlah tahun kedua anak pertama lahir, tahun ketiga anak kedua lahir, tahun keempat anak ketiga lahir, waduh..itu kapan membangun intimasinya? Makin cepat anak lahir, makin cepat masuk Realistic Love. Karenanya, dinamika selalu berbeda antara keluarga yang satu dengan yang lain.
Melihat poin-poin ini, tambah sadar kan betapa kecakapan beradaptasi dan fleksibilitas harus dimiliki dan dikuasai. Adaptasi dan fleksibel bukan berarti kompromi. Malah membuat kita mengerti kelemahan dan kelebihan pasangan. Terkadang orang yang mempunyai kelebihan di hadapan orang lemah toh menyakitkan juga. Jadi menyiksa.
Kalau suami terlalu pintar, dia menganggap isterinya bodoh. Kalau isteri terlalu cepat, dia melihat suaminya lelet. Jika tidak mahir beradaptasi pasti menjadi kekacauan yang luar biasa dalam rumah tangga.
Bagaimana Cara Beradaptasi?
Ketika suami cepat, apakah isteri harus memperlambat? Disinilah letak kecakapannya. Cepat bagus, tapi kalau diperbandingkan dengan yang lambat jadi jelek. Karenanya harus beradaptasi menyamakan kecepatan supaya setara. Cepat memperlambat, lambat mempercepat. Ketemunya di Tengah. Baru bisa sama-sama mengarungi lautan.
Pintar itu baik. Tapi satu orang pintar di antara dua orang bodoh. Pasti yang satu itu tersiksa lahir batin. Yang dua malah merasa tidak bermasalah. Loh Kok? Ya iya lah, divoting aja menang kok, emangnya kenape? Jadi bagaimana? Sama. Ketemunya di Tengah. Yang pintar, harap-harap menurunkan sedikit levelnya. Yang bodoh jangan cuek aja dong, paksa kerek sedikit demi sedikit. Di sisi lain, yang pintar jangan sombong. Cobalah mengerti kelemahan, juga mau mengajar dan bersabar. Ibaratnya, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Saya pernah cerita tentang IQ pasangan. Jika IQ pria lebih tinggi dari wanita, begitu mengalami pernikahan 10 sampai 40 tahun, akan mengalami penurunan karena beradaptasi. Yang rendah, Puji Tuhan! Akan naik. Yang tinggi? Ya… Ketemu di Tengah. Jangan kecewa, ini sungguhan loh.
Karakteristik Young Love
Excitement dan Enthusiasm masih sangat tinggi. Jelas masih mau mengalah. Keinginan memahami pasangan besar sekali. Karena kekuatan cinta masih sangat dahsyat. “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu..” Waduh, meterai itukan nempel “… seperti materai pada lenganmu karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyala-nyala api seperti nyala api Tuhan, air yang banyak tidak dapat memadamkan cinta.”
Malam-malam masih suka melihat foto-foto pernikahan. Setiap malam dilalui seperti Kitab Suci katakan, penuh kegairahan dan nyala api Tuhan. Di masa-masa ini kalau pasangan berbuat salah, ya it’s okay lah dimaafin.
Karakteristik Realistic Love
Seperti langit dan bumi, masuk ke Realistic Love muncul perasaan: Aduh…baru tahu, pernikahan kok berat sekali.
Dulu saya pikir, menikah dengan dia, orangnya baik.
Tahu-tahu kelemahannya banyak amit, apalagi keluarganya.
Papa mamanya ikut campur terus. Anak mami banget.
Peragu lagi, tidak bisa langsung ambil keputusan.
Saya pikir, menikah dengannya bisa becandaan terus.
Eh… Sekarang kok, sukanya marah.
Pulang kerja, lesu melulu lagi. Ga pernah seneng!
Desperate banget ngeliat dia…
Dia kok…Dia kok…gitu? Topeng mulai rontok satu persatu.
Kelihatan aslinya sekarang.
Muncul keragu-raguan terhadap pernikahan. Bosan, bingung, marah, sedih, bahkan dalam hati terdalam timbul penyesalan terhadap pernikahan dan pasangan.
Realistic Love ditandai dengan munculnya kesadaran bahwa realita pernikahan berat.
Ujungnya ada dua kemungkinan:
(1) Ah…pernikahan memang sulit, ya sudah jalanin aja. Sikap pasif muncul. Tidak mau lagi memberikan keindahan. Akhirnya, hidup segan matipun tak mau. Yang bahaya, ada pihak ketiga yang selalu cari gara-gara, mau masuk tanpa permisi.
(2) Tetap optimis. Prinsipnya, hilang satu, tumbuh seribu. Walau sulit, kami berdua akan berjuang dengan pertolongan Tuhan, beradaptasi terhadap segala perubahan. Yes! Yes! Yes! Yes We Can! Kami akan mempertahankan pernikahan ini. Pantang menyerah. Menyadari realita, menerima realita dan menghadapi realita. Modalnya cinta kasih. Akhirnya, Realistic Love pasti masuk ke Comfortable Love dengan selamat!
Young Love, jika diilustrasikan seperti suami isteri berdiri di atas awan. Indah sekali semuanya. Mimpi nih…yee…. Berjalan di awan, melihat ke bumi, sungguh menawan. Minum teh rasa kopi, ini teh cuma mimpi!
Realistic Love, mendarat di bumi. Tapi salah landing, kepalanya di bawah. Kakinya menjulang ke langit! Kepala jatuh duluan, JEDER! Adau…Pusing! Berat sekali, karena kepala harus menahan seluruh badan. Upside Down semuanya.
Comfortable Love baru berpijak dengan kokoh di atas bumi. Pakai kaki bukan kepala. Berarti lulus Cumlaude dalam memahami pahit getirnya realita pernikahan dan dengan Semangat 45 teguh mencintai pasangan.
Mari berpantun:
Zaman beralih, musim berganti. Jangan patah arah, siapkan hati.
Lebih fleksibel beradaptasi. Semoga Allah memberkati.
4. Keluarga Yang Sehat
Tiga kategori keluarga sehat:
- Hubungan suami dan isteri harus harmonis.
- Hubungan orang tua dan anak harus saling membangun.
- Kehidupan pribadi berintegritas berdasarkan standar nilai yang Tuhan tetapkan.
Ketiga poin ini erat berkolerasi dan berkolaborasi. Tak mungkin hubungan suami isteri harmonis dan hubungan orang tua-anak saling membangun, jika ternyata kehidupan pribadi buruk katakanlah suami pemabok atau penjudi.
Umpama, hubungan suami isteri harmonis, kehidupan pribadi baik, minus hubungan orang tua anak membangun. Ujung-ujungnya anak-anak sakit juga.
Contoh hubungan orang tua anak yang membangun. Anak usia 2-3 tahun senang main air. Jangan dilarang. Silahkan saja, tapi mainnya di wastafel atau ember yang sudah disediakan. Aturan diberikan, jangan berantakan. Batasan waktu ditetapkan, jangan lama-lama, nanti masuk angin. Akhirnya anak belajar mengerti.
Orang tua harus belajar menghadapi anak sesuai dengan umurnya. Setiap tahapan umur memiliki perkembangannya sendiri. Dalam hal ini, orang tua harus cakap beradaptasi dan fleksibel. Menghadapi anak usia 2 tahun, tentu beda dengan anak usia 10 tahun.
Orang tua yang terlalu sering berkata,“Jangan!” Tidak membangun anak. Di sisi lain, bila orang tua terlalu membiarkan anak, hasilnya liar. Orang tua perlu menyeimbangkan. Konsisten menanamkan kebenaran dan konsep pikir pada anak-anak. Jangan berdasarkan mood orang tua, kadang boleh, kadang tidak. Bikin anak jadi bingung.
Kehidupan pribadi baik, berintegritas tapi kalau terlalu independen, kaku dengan standar-standar diri, mengakibatkan hubungan suami isteri tidak harmonis. Seorang yang takut akan Tuhan, apakah otomatis jadi suami yang baik dan ayah yang baik? Belum tentu.
Misalnya, dia seorang yang saleh, ringan tangan, murah hati, rajin melayani Tuhan di Gereja. Ketika berkeluarga, diperhadapkan: Harus rapat persiapan KKR, dia ketuanya atau bawa anak ke dokter? Yang mana yang harus dipilih?
Contoh lain, isteri lagi kepusingan hemat-hemat belanja pasar untuk bayar uang sekolah anak, datang orang minta sumbangan anak panti asuhan. Mau diberikan kepada siapa uangnya?
Semuanya benar. Semuanya harus. Tapi semua bisa diatur waktunya, seperti lenturnya karet, ingat?
Nikmatilah hidup dengan isteri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari.
Firman Tuhan menyingkapkan:
Ada satu kenikmatan yang setiap suami harus reguk, hidup dengan isteri.
Ada satu jerih payah yang Anda lakukan yang Tuhan hargai yaitu jerih payah memelihara hubungan suami isteri.
Inilah anugrah Tuhan yang luar biasa, jika cakap menikmati hubungan suami isteri. Pasti di dalamnya mengandung jerih payah dan usaha yang kuat.
Usaha inilah yang akan kita bahas.
Menjaga Empat Keseimbangan
Sebelum menikah, kita pikir sekali harmonis tetap harmonis, sekali sejahtera akan terus sejahtera. Jujur. Tak mungkin la yaa….
Dinamika kehidupan rajin berubah. Memaksa diri untuk terus menjaga keselarasan. Beradaptasi dengan pasangan belum berhasil, sudah lahir anak ke-1, pekerjaan naik pangkat, pindah rumah, anak ke 2 lahir, anak ke 3 waiting list. Anda bisa menambah panjang lagi daftarnya.
Seperti berjalan di atas tali, selalu menjaga keseimbangan. Tidak boleh lengah. Begitu lengah langsung masuk jurang. Pernikahan ya begitu. Gampang-gampang susah. Tapi dalam kesulitan, pertolongan Tuhan selalu terbuka lebar. Mintalah hikmat pada yang Empunya Hikmat.
Jika seorang berjalan di atas seutas tali, dia memakai tongkat supaya seimbang. Dalam pernikahan, supaya harmonis, apa yang harus diselaraskan?
1. Pergumulan Menjadi Diri Sendiri vs Menjadi Diri Yang Diharapkan Pasangan.
Jelas kita ingin menjadi diri sendiri. Tetapi kita juga dituntut berubah diri menjadi seperti yang diharapkan pasangan. Masuk dalam pernikahan, bukan lagi dua tetapi satu. Ada orang bilang “Be Yourself” & “You are You”, kelihatannya keren. Jadilah dirimu sendiri, apa adanya. Tapi motivasi di baliknya, “Jangan utak atik ya, aku sudah nyaman dengan diriku. Aku suka apa adanya diriku, inilah AKU!” Kalau punya pemikiran begini, lebih baik tak usah menikah. Bikin susah saja! Orang yang ogah menjadi seseorang yang diharapkan pasangan namanya egois. Jika jadi diri sendiri terus, ujung-ujungnya pasti sendirian.
“Pursue Growth” adalah semboyan pernikahan yang lebih jitu dan mujarab. Bukan berarti kita dilarang menjadi diri sendiri. Dalam pernikahan, bebas kok menjadi diri sendiri, tak ada yang larang. Tapi, pasanganpun bebas menilai diri kita. Dia boleh memberikan pendapat. Kita gumulkan masukannya, jika memang baik cobalah berubah. Berubah makin dewasa dan mekar.
Prinsip menyeimbangkannya:
Jangan sampai kita hanya menjadi diri sendiri saja sampai kehilangan pasangan, atau berusaha menjadi diri yang diharapkan pasangan sampai kehilangan diri!
Kepribadian yang unik tidak boleh hilang. Harus berkembang. Sebagai manusia berdosa, akuilah kita banyak kelemahan tapi kan limpah kelebihannya juga.
Saat menikah dengan orang yang kita cintai, dia (Suami / Isteri) pasti punya harapan-harapan di dalam bayangan idealnya. Kita ingin menyenangkan pasangan dengan berusaha menjadi seperti yang dia harapkan.
Liana ingin saya menjadi Family Man. Orang yang menggali kebahagiaannya dari keluarga. Ini jelas pergumulan bagi saya. Sejatinya, saya Career Man, kebahagiaan digali dari keberhasilan pekerjaan. Saat banting stir melayani full timer sebagai Hamba Tuhan, ujung-ujungnya sayapun mengejar kebahagiaan dari keberhasilan pelayanan.
Ini perlu diseimbangkan. Keluargapun adalah bagian dari melayani Tuhan juga. Kalau pelayanan berhasil, sementara keluarga kacau balau. Namanya Gatot! Gagal Total. Selama saya tidak putus-putus melayani Tuhan, Liana mendukung saya.
Di sisi lain, tuntutan sebagai Family Man, membuat saya harus memberikan waktu bersama isteri dan 3 J, putra-putri kami di rumah. Ada waktu pelayanan ke luar, ada waktu bersama keluarga, harus dijaga selalu balance. Sambil menyelam, minum segentong air.
MASUKKAN BOX
Cepetan Dong!
Liana speednya lebih lambat dari yang saya harapkan. Maunya saya, Liana lebih cepat dalam segala sesuatu. Mau ke gereja mestinya 15 menit beres, tapi Liana double portion, 30 menit baru finish. Mau pergi kemana-mana, nunggunya lama sekali. Saya beda, dari tempat tidur, mandi, sampai masuk mobil tidak sampai 10 menit. Set set set, flash! Beres!
Liana tidak bisa begitu. Banyak-banyak yang mesti disiapkan. Sebelum menikah, kalau diajak pergi, harus pilih baju, sisir rambut, make up, sampai sure udah okey, baru keluar. Setelah menikah, lebih banyak lagi yang harus disiapkan, ditambah anak-anak. Beresin anak satu per satu, gantikan baju, sisirkan rambut, siapkan minuman, bawakan baju ganti, semua beres baru urus diri. Ah, lama sekali.
Dalam proses bergumul menjadi diri sendiri dan menjadi diri yang diharapkan, Liana menginjak gas lebih dalam. Dulu 30 km/jam sekarang 60 km/jam. Ada kalanya Liana boleh bersantai-ria, ada kalanya dia memakai maksimum speed.
BOX SELESAI
“Pursue Growth” tahu kapan jadi diri sendiri, tahu kapan jadi orang yang diharapkan. Di sinilah letak kecakapan adaptasi dan fleksibel.
2. Mengatakan Yang Sebenarnya vs Mengatakan Yang Sepatutnya.
Mau jujur sampaikan kebenaran takut menyakiti hati pasangan. Mau bicara sepatutnya, ntar dibilang boong. Masalah ini sering kali menjadi dilema dalam kehidupan suami isteri. Kita dituntut jujur, “Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak, selebihnya berasal dari si jahat”, perintah Tuhan Yesus.
Di lain sisi, terkadang kita harus mengatakan yang sepatutnya.
Bohong-Bohong-Bohong Itu DOSA, lagu Sekolah Minggu yang sering dilantunkan anak saya. Kalau sepatutnya, berarti ada bagian-bagian KEBENARAN yang kita delete. Half Truth bukan Truth yang sesungguhnya.
MASUKKAN BOX
Buah Simalakama
Liana masak makanan baru namanya ‘Galatin’, kelihatannya enak. Dia juga masak ayam jahe kesukaan saya. Maksudnya ada masakan baru supaya tidak bosan. Tapi sampai makanan di piring hampir habis, saya hanya makan ayam jahe. Makanan baru itu tidak saya sentuh.
Liana tanya,“Kok tidak dimakan Galatinnya?”
Nah lho, saat itu harus berkata apa? Sejujurnya atau Sepatutnya?
Kalau mau jujur (kelihatannya tidak enak sih) seharusnya saya jawab,“Tidak pengen ah, Saya maunya ayam jahe aja.”
“Tidak pengen?! Sudah cape-cape buat tidak pengen?!!” Terbayang muka Liana yang sepet.
Tapi saya pilih menjawab sepatutnya, “Masih panas gorengannya, takut sakit leher nanti.” Setelah ditanya, saya ambil deh icip-icip. Supaya Liana senang.
Terkadang kita harus bicara sebenarnya, terkadang kita harus bicara sepatutnya. Ini perlu keseimbangan, harus bijaksana.
Contoh lain, Liana pernah tanya,”Baju ini bagus enggak?” Badannya muter-muter kayak gasing, sementara mukanya ceria banget. Baginya itu pilihan yang pas.
Sejujurnya, saya rasa Liana jadi aneh pakai baju model begitu. Dalam hati,“Bajunya sih bagus, tapi kalau kamu yang pakai jadi jelek banget.”
Berani ngomong begitu? Bisa-bisa Perang Dunia di rumah!
“Kamu, tidak bisa menghargai aku ya, ini bagus tahu!” Saya membayangkan matanya mendelik bolak-balik.
Kalau bicara sepatutnya, “Yah, boleh lha, lumayan.”
Hasilnya, dia tak akan pernah tahu apa yang sesungguhnya ada di pikiran saya. Pilih mana?
Bagai makan Buah Simalakama.
BOX SELESAI
Perlu sekali bijaksana Tuhan. Apalagi sadar, bahwa kita berbicara dengan seorang TEMAN pewaris kasih karunia, seseorang yang Tuhan berikan berada dekat kita untuk selamanya. Kapan kita harus berkata yang sebenarnya vs kapan bicara sepatutnya? Penting pergumulan tak putus-putus dalam menjaga keseimbangan ini.
Dengan cinta kasih yang besar, kita akan mengerti apa yang selayaknya dikatakan. Tidak bisa kaku dengan salah satu pilihan saja. Saklek! Pokoknya, harus jujur. Wah, kalau begini, bisa bikin pasangan sakit hati. Tapi kalau selalu cari kalimat yang sepatutnya, pasangan malah tidak akan mengenali diri kita.
Dalam proses sepatutnya dan sebenarnya, usahakan menuju pertumbuhan. Mengatakan sebenarnya, pasangan tidak tersinggung. Mengatakan sepatutnya, tidak dibilang bohong. Loh kok? Ya, karena sudah saling kenal luar dalam. Akhirnya kebenaranlah yang menguasai keluarga. Seperti pepatah: Tak kenal tak sayang, sudah kenal tahu belangnya. Tahu belangnya tapi makin sayang.
Bicara kebenaran jika belum siap, masih ada hari esok. Didoakan dulu agar Tuhan menolong pasangan. Siapkan waktu yang tepat untuk bicara. Bisa besok atau lusa. Kenapa tuntut hari ini harus selesai? Sabar sedikit…
Besok bisa lebih baik karena sudah lebih tenang. Kebenaran yang sama jika waktunya tepat, malah membebaskan dua-duanya. Jika waktu tidak tepat, kebenaran jadi sangat menyakitkan. Menoreh luka di hati yang lama sekali sembuh.
Berkata sebenarnya harus dibedakan dengan bicara seenaknya. Kebenaran harus dibungkus kasih dalam etika bertutur.
Komunikasi sebelum menikah: Biasanya bicara garis besar saja, tidak sampai detil. Sesudah menikah: Seharusnya cerita sampai detil, jangan hanya garis besar. Lebih-lebih kasus perselingkuhan, antidote untuk menghilangkan rasa ketidakpercayaan adalah memberitahukan detil informasi supaya pasangan merasa aman.
3. Terima Apa Adanya vs Menuntut Daripadanya.
Apakah kita harus menerima kelemahannya, atau harus menegur dan menuntutnya berubah?
Menerima apa adanya terus-menerus memerlukan hati yang sangat lapang, lama-lama lapangannya habis juga. Di sisi lain, menuntut bertubi-tubi membuat pasangan lelah pula. Jika pasangan rajin dikritik, dan dipaksa berubah, berarti memberi tekanan yang terlalu besar baginya.
Ada juga yang selalu menerima saja seperti orang buta. Tak salah lagi, pasti hidupnya akan berbeban berat, karena tidak pernah mendapatkan apa yang dia mau. Untuk menerima apa adanya, perlu pengorbanan yang tinggi. Nah, kalau terus-terusan berkorban, namanya bukan pernikahan tapi perbudakan. Seperti budak, tidak mempunyai hak bicara. Terima langsung. Dilarang Protes!
Banyak yang bilang, sebelum menikah buka mata lebar-lebar untuk melihat siapa dia, setelah menikah tutup mata rapat-rapat. Apa benar begitu? Nabrak dong! Siapa sih yang buat pepatah ini? Saya tidak setuju! Berarti sudah tidak ada usaha menuju pertumbuhan dan keindahan.
Saya tidak setuju karena:
- Membuat natur dosa makin bertumbuh pesat.
- Pernikahan yang sehat tidak bisa tercapai.
- Tidak bisa lagi menikmati kebersamaan dengan pasangan.
Mengapa pepatah ini jadi marak dan populer? Dasarnya banyak orang yang menikah kecewa, tapi tidak berani dan tidak kuasa melakukan apa-apa. Yah, terima saja apa adanya. Memang orangnya begitu kok, ya sudah. Nasi sudah jadi bubur. Dulu menikmati keindahan pasangan, sekarang tutup mata aja deh. Yang indah sudah berlalu yang buruk sudah datang. Pepatah ini hanya untuk hibur diri supaya tidak kabur dari pernikahan.
Yang benar, seharusnya berjuang untuk mengaminkan Firman Tuhan, nikmatilah hidup dengan isterimu….Menjaga keseimbangan untuk menerima apa yang memang tidak bisa diubah dan menuntut satu pertumbuhan atas apa yang bisa diubah.
Kenapa kita perlu menerima apa adanya? Karena itulah keunikan dirinya, itulah pribadinya, dialah orang yang kita pilih untuk menjalani kehidupan sampai maut memisahkan.
Mengapa perlu menuntut dia berubah? Karena dia juga wajib berkembang. Sebagai pasangan, Andalah partner yang ditempatkan Allah disisinya. Selama masih ada nafas, tugas kitalah menolongnya bertumbuh serupa Kristus.
Saling mengikis, kelebihan dipoles sampai tambah mengkilat. Kekurangan ditutupi supaya menjadi karya yang indah. Kasih menutupi segala sesuatu tapi juga berharap akan segala sesuatu. Kasih menerima, tapi juga menuntut.
4. Kebutuhan Untuk Dimengerti vs Keharusan Untuk Mengerti.
Kebutuhan untuk dimengerti ekstrimnya HAUS pengertian, maunya dimengerti terus. Sedangkan efek negatif keharusan untuk mengerti yang bertubi-tubi adalah mengalami kejenuhan, kelelahan mental untuk terus memberikan pengertian.
Maka, ada kalanya kita mencoba mengerti pasangan, ada kalanya juga kita menuntut untuk dimengerti. Pernikahan yang harmonis akan tercapai saat terjadi keseimbangan. Di satu sisi kita ingin dimengerti, di sisi lain kita harus punya kecakapan mengerti pasangan.
Dulu waktu kami tinggal di kampus, saya terpaksa menyelesaikan tugas-tugas sampai jauh malam. Jam 12 malam perut terasa lapar sekali, Liana sudah tertidur di kamar. Jadi bagaimana? Terkadang saya ingin dimengerti, Liana saya bangunin. Kadang juga saya mencoba mengerti, ya saya masak saja sendiri.
Kalau keseimbangan itu tidak ada, bisa kacau pernikahan.
Bayangkan, kalau kedua-duanya barengan hanya mau dimengerti, apa yang terjadi?
Suami berkata, “Ngertiin aku dong, barusan ada meeting. Aku mesti cari uang. Aku mesti menghidupi kalian semua. Cape nih! Kalian jangan macem-macem ya…! Silent Please!” Kalau suami pulang rumah harus Sunyi Sepi Hening tak boleh ada suara apapun.
Isteri balas,”Ngerti dong… aku cape nih sudah mengurus anak seharian. Makanya belum mandi dari tadi. Rumah berantakan lagi, dan lain-lain. Kamu jangan tuntut macem-macem ya!” Jadilah isteri selalu berantakan.
Masing-masing harus menjaga keseimbangan.
Suami harus mengerti, kadang-kadang rumah ramainya luar biasa. Kayak Pasar Malam. Ya sudah, tenang saja toh, Pak! (Ini seperti kesaksian pribadi deh).
Isteri harus mengerti, suami pulang dari kantor, cape. Perlu melihat keindahan juga di rumah. Suami mau disambut isteri yang segar dan wangi. Ayo Bu, berdandan!
Jika hanya berat pada satu titik saja, hasilnya adalah keharmonisan yang dangkal, maksudnya hanya untuk meredam pertengkaran. Tetapi kalau mahir menyeimbangkannya, usaha tidak akan-sia. Keharmonisan suami isteri adalah upahnya.
Apa keterampilan yang Anda perlukan agar keseimbangan langgeng?
Harus mempunyai:
Kecakapan beradaptasi.
- Mampu menyesuaikan diri dengan orang yang kita nikahi.
- Mencoba memenuhi harapan-harapannya.
- Mengenali dan memahami dirinya.
- Mencoba melihat dari kacamatanya.
Fleksibilitas:
- Lentur, tidak mudah patah semangat, patah hati.
- Cepat belajar dari pengalaman (Teachable).
- Mampu mengurangi / menurunkan ego.
- Mencoba mementingkan pasangan.
Selamat melenturkan diri Anda! Tuing! Tuing! Sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit!