:
Bab 10
Not Egocentric
Tidak Egois
Selagi makan siang sendirian di rumah, tiba-tiba Liana teringat moment-moment pernikahan dulu. Memory pernikahan di tahun 2000 melintas cepat. Diiringi alunan musik dari Pachebel, Canon D berdua sang suami berjalan perlahan menuju Altar sambil diiringi ratusan pasang mata. Kemudian tibalah saatnya mengucapkan Janji Nikah…..Mendadak hatinya kembali bergejolak. Perasaan kangen menguasai Liana. Langsung saja dia angkat telepon. “Abisnya tak sabar lagi untuk mendengar suara pria kesayanganku,” ujarnya.
Saya yang ditelpon, terheran-heran. Kenapa suara Liana cerah dan meriah? Rupanya lintasan ingatan hari pernikahan sedang berkunjung ke rumah.
Apakah Anda masih mengingat saat-saat itu?
“Apalagi kalau mengingat Love Songs yang mengiringi masa perkenalan dulu. Sebuah lagu yang paling berkesan adalah Truly, Madly, Deeply dari Savage Garden. Setiap kali mendengarnya, langsung deg degan lagi. Seakan masa pacaran kembali hadir pada hari ini.” tambah Liana.
Padahal itu sudah bertahun-tahun yang lalu, tepatnya 9 tahun sudah kami mengarungi hidup berdua.
Sungguh indah masa pacaran. Kalau jalan masih gandengan tangan; kalau makan, masih liat-liatan; kalau bertemu, senangnya bukan main; kalau pisah, aduh rasanya seperti kehabisan darah. Anemia kali? Pepatah mengatakan Jauh di mata dekat di hati. Namun, seiring berjalannya waktu, keindahan itu mulai terpupus, ternodai oleh kekesalan, kemarahan dan kehambaran.
Dulu kekasih adalah, ”My Hero!” karena rela berkorban habis-habisan. Antar jemput kuliah, traktir makan, bantuin buat tugas, temenin belanja. Pokoke setia buanget! Minta apa juga dikasih. (Yang bicara ini sepertinya pihak wanita deh).
Sekarang, “No mine!” Bukan saya punya! Boro-boro sambil makan bisa lihat-lihatan, makan bersama saja hampir tidak pernah. Jangankan minta ditemani pergi, minta waktu berbasa-basi ngomongin hal-hal enteng saja susah. “Egois Pisan!,” kata orang Bandung. “Padahal kalau sudah berkeluarga harusnya pikirin keluarga dong, jangan cuma pikirin diri sendiri aje.”
Apa yang Firman Tuhan katakan tentang si egois ini? Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.
Ternyata biang pengacau dan rupa-rupa perbuatan jahat bernama Mr./Mrs. Egois. Karena itu, kalau suami isteri atau bahkan dua-duanya kompak egois, pasti rumah tangga amburadul. Kalah jadi abu, menangpun jadi arang.
Suami pergi makan ke Restoran Sedap, isteri malah berpikir, “Enak aja ya makan sendiri, nggak ngajak-ngajak, sebel!” Isteri kemudian mulai memikirkan kejahatan-kejahatan yang akan dipersembahkan bagi sang suami. Wah, mengerikan sekali seperti living with the enemy. Pasti Anda tidak mau hal ini terjadi dalam keluarga, bukan?
- Mengalahkan Mr/Mrs. Egois
Mengasihi Pasangan
Firman Tuhan membuka rahasia guna mengalahkan Mr./Mrs. Egois
Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.
Mengalahkan egoisme, tiada cara lain selain menggeluti kasih seumur hidup. Kita harus gencar belajar mengasihi, khususnya, mengasihi pasangan.
Aneh. Ada, orang lebih mengasihi binatang peliharaannya lebih dari sesamanya manusia. Anjing didandani di Salon Nomor 1, dengan penata bulu yang paling hebat. Ulang tahunnya juga dirayakan. Tapi terhadap pasangan sering pelit minta ampun.
Apa arti kasih? Ada yang bilang, bicara kasih, sepertinya abstrak sekali dan tidak konkrit. Karena itu mari kita konkritkan bersama.
Rasul Paulus memaparkan kasih dengan sangat indah dan utuh.
Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.
Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.
Ciri-ciri kasih:
- Kasih itu sabar;
- Kasih itu murah hati;
- Ia tidak cemburu.
- Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
- Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
- Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
- Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
- Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
- Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.
Adakah kasih yang Anda nyatakan sesuai dengan sembilan ciri-ciri di atas? Kalau tidak, kita harus memikirkan, “Apa benar Aku mengasihimu?” Atau “Apakah Aku menikahimu demi keuntunganku sendiri?”
Saking pointnya banyak sekali, kasih harus dipelajari sekarang juga. Tidak ada yang terlambat. Kasih akan kita bawa ke Surga karena kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.
Firman Tuhan berkata: Pengetahuan akan lenyap. Pengetahuan berhenti di satu titik, kematian. Padahal, untuk belajar pengetahuan saja kita bersekolah sampai 25 tahun, mulai dari Play Group, TK, SD, SMP, SMA lalu S-1, S-2, S-3. Lama sekali…mendalami pengetahuan yang so pasti akan lenyap itu. Apalagi kasih, tidak akan rugi mempelajarinya karena faedahnya berguna selamanya.
Untuk belajar matematika ada rumusnya, belajar ilmu alam ada laboratoriumnya, mau lulus studi ada kerja prakteknya. Nah, belajar kasih bagaimana caranya?
Tuhan menyediakan keluarga. Tuhan memberikan isteri dan anak-anak supaya kita bisa belajar mengasihi mereka. Belajar kasih sendirian pasti tidak naik kelas. Kasih membutuhkan objek supaya bisa dipelajari. Pengungkapan I Love You sudah memberikan kejelasan akan hal ini. Ada I, ada You. You and I love-love-an.
I and You berinteraksi menghasilkan percikan api. Bisa api cinta, bisa juga api benci. Jika seorang mencinta begitu dahsyat, maka dia juga bisa membenci begitu hebat. Bahasa lainnya, kalau seorang cintanya biasa-biasa saja, maka saat disakiti juga tidak terasa. “Emangnya gue pikirin,” katanya.
Dalam kehidupan bersama pasti ada percekcokan, beda pendapat, dan kesulitan. Kita harus memakai semuanya itu sebagai kesempatan guna belajar mengasihi. Orang yang egois, ego-nya sangat tinggi, tidak perduli kalau orang lain susah. Tak perduli apa kata orang, yang penting,” Saya, Saya dan Saya.”
Kenapa demikian?
Struktur Dasar Kepribadian: Id, Ego dan Super Ego
Orang yang egois selain dilahirkan dengan bakat dari sononya. Juga terbentuk kala seseorang memasuki fase pembentukan kepribadian. Waktu kecil, kemungkinan egonya tidak dibentuk tetapi dibiarkan tumbuh liar. Hati nuraninya jadi tumpul dan tidak peka.
Daripada bingung, ada baiknya kita menguliti struktur dasar kepribadian manusia untuk mendapatkan pemahaman secara utuh.
Struktur dasar kepribadian seseorang tercakup tiga bagian:
- Id:
- Instink atau impuls yang diciptakan Tuhan untuk bertahan hidup.
- Id mengatur kebutuhan biologis dan desires (hasrat, keinginan, berahi).
- Sifatnya selalu ingin dipuaskan dengan segera tanpa bisa menunggu.
- Contohnya: instink lapar, langsung cari makan; instink membalas, kalau dipukul secepat kilat dikibas. Termasuk instink seksuil, kalau terangsang ingin cepat-cepat dilampiaskan.
- Binatang mempunyai Id, maka tidak dapat menahan diri untuk segera memuaskannya. Manusia jelas berbeda, ada egonya.
- Ego:
- Tuhan memberikan ego agar manusia melakukan sesuatu dalam kesadaran.
- Terbentuk mulai umur 6 bulan.
- Memerlukan memory (ingatan), dan judgement (penilaian) untuk melakukan sesuatu.
- Misalnya, anak kecil main bola. Kita ambil, umpetin. Pasti dia langsung mencari sampai ketemu; kalau tidak ketemu pasti nangis. Contoh lain, putra bungsu kami Joshen sekarang berumur 2 tahun. Dia sedang memuaskan egonya dengan berkata, “Tidak!” Kami minta,“Ayo, mandi!” “Tidak!” “Ayo cuci tangan!” Tidak!” ceplosnya dengan cepat. Kata satu itu yang paling dikuasainya.
- Ego adalah diri sesungguhnya. Secara sadar, tahu apa maunya. Memiliki keinginan.
- Ego yang mulai tumbuh tidak boleh dipangkas habis. Jika dipotong, terbentuk manusia yang tidak berkeinginan. Pantang juga dibiarkan, akan menciptakan manusia yang tidak punya aturan. Semena-mena melakukan apa yang dia mau.
- Di masa pertumbuhannya. Ego anak-anak harus dibentuk supaya tidak hanya memuaskan seluruh keinginan Id, tetapi dapat memperhitungkan hati nurani.
- Super Ego / Hati nurani
- Berkembang antara usia 3 – 6 tahun
- Merupakan hasil internalisasi interaksi dengan orang tua yang menanamkan nilai-nilai, norma dan aturan, terutama firman Tuhan.
- Misalnya sebelum makan. “Jostein, berdoa dulu,” kami ingatkan. Kalau Jostein menginternalisasikan, maka dia akan terbiasa berdoa sebelum makan. Ujung-ujungnya, peraturan menjadi bagian dirinya yang tak terpisahkan.
- Persis membaca Firman Tuhan. Jika direnungkan dan diinternalisasikan, Firman otomatis menyatu dengan diri yang berfungsi mengingatkan pada saat dibutuhkan.
- Dengan berkembangnya hati nurani, tugas ego adalah menyeimbangkan Id dan hati nurani. Contohnya, saat wangi sedap makanan tercium hidung, langsung perut keroncongan, “Cepetan comot, habiskan!” seru Id, sementara hati nurani bersuara, “Doa dulu, sabar!” Ego ngapain? Ego akan memakai memory dan judgement-nya untuk memilih yang mana yang akan dilakukan.
Kembali lagi ke pokok bahasan, bahwa kasih pasti membutuhkan objek untuk dikasihi. Bersyukurlah jika keluarga Anda sudah dikaruniai anak. Anak pun objek kasih kita. Sebagai orang tua, perhatikan perkembangan mereka, investasikan waktu untuk mengajar kasih melalui tindakan dan perkataan. Supaya besar tidak egois.
Keluarga yang baru dikaruniai anak, seringkali suami mengalami sindrom ketakutan kehilangan isteri. Isteri begitu sibuknya mengurus anak, sampai lupa masih ada suami di rumah. Hidup semakin kompleks. Dulu objek kasih cuma satu, sekarang dua, besok-besok tambah lagi.
Satu ketika putri kami Joylynne sakit. Kami antar ke dokter. Antrian mengular panjang sekali. Yang begini hanya ada di Bandung. Di Jakarta kami tidak pernah lihat antrian dokter sampai 50 orang, paling-paling juga 10 pasien.
Di ruang tunggu yang riuh rendah, kami melihat orang-tua yang menggendong anak berjam-jam. Sekalipun anak rewel, bikin orang tua tambah susah, tapi dengan setia tetap bertahan demi anaknya mendapat resep dan obat supaya cepat sembuh.
Coba renungkan, di situlah letak kasih sesungguhnya. Di saat susah, orang tua bersedia menunggu berjam-jam di ruang tunggu dokter. Demi siapa?
Mengapa mereka mau melakukannya? Kasihlah jawabannya.
Kasih tidak mungkin dipelajari sendirian, objeknya jelas, isteri, suami dan anak-anak.
Bagaimana dengan yang single atau belum menikah? Orang single tetaplah bagian dari sebuah keluarga. Dia mempunyai ayah, ibu dan saudara-saudara, di sanalah mereka belajar mengasihi.
Apakah teman-teman dapat menjadi objek guna belajar mengasihi? Secara ideal bisa, tapi tidak selamanya. Mari kita perhatikan progressnya.
Waktu masih kecil, teman anak-anak adalah Papa dan Mama. Orang tua menjadi temannya sampai mereka berusia 12 tahun. Setelah 12 tahun anak-anak muncul gengsinya, ”Masa umur segini masih pergi sama papa mama? Malu ah…entar dibilang anak bayi.”
Beranjak ke usia remaja, lazimnya sudah punya peer group. Air ke air minyak ke minyak. Cowo-cowo ngumpul sama cowo. Cewe-cewe demikian juga. Kalo ada yang nyasar, pasti diledekin: “Banci Loe!” Kalo cewe ke cowo? “Tomboy Loe! Luar cewe dalam laki.” Begitulah dunia remaja.
Tapi masa-masa peer grup tidak lama. Biasanya anak remaja bubar sendiri dengan gengnya itu. Brotol satu demi satu. Siapa biang keladinya? Jatuh cinta… berjuta rasanya! Eh, ternyata ada si dia yang cantik luar biasa. Eh ada si dia yang ganteng selangit. Terjadilah seseorang menemukan tambatan hati. Dan mulailah petualangan pembelajaran kasih yang agung. Ingat, belajarnya berdua!
Setelah masa pacaran lewat, dengan kasih yang menggebu-gebu. Menikah, lahir anak dan terus dan terus lagi, seperti iklan batere Energizer. Kapan kasih berakhir? Apakah saat maut memisahkan kita? Tidak juga. Maut hanya pintu masuk kepada kasih yang sejati saat kita berjumpa dengan Tuhan yang adalah kasih.
Tuhan memang mendesign sedemikian rupa. Inilah tools yang Tuhan berikan agar manusia belajar mengasihi. Toolsnya adalah orang-orang terdekat kita.
2. Kasih vs Egois
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Mari kita mendalami bedanya mengasihi diri dengan egois, supaya tidak salah melangkah.
Egois berarti mementingkan diri sendiri dan tidak mempedulikan orang lain.
Mengasihi diri berarti tidak merusak diri sendiri. Dia mengerti bahwa tubuhnya adalah Bait Allah. Tidak merokok, tidak menonton film-film yang mengacaukan pikiran ataupun perasaannya.
Pula, dia tidak menghina diri. Ada orang yang tidak mengasihi diri, self talk,” Kamu bodoh. Kamu payah.” Mencaci maki diri sendiri. Sebaliknya kalau mengasihi diri,” Ayo kamu bisa, kamu tidak jelek, kamu pantas mendapatkannya.”
Untuk urusan kesehatan, orang yang mengasihi diri tahu sehari harus makan tiga kali. Tapi ada orang yang makannya kalau ada waktu, ”Makan entar aja, belum selesai nih, tunggu beres.” Lah beresnya kapan? Kalau tidak selesai tidak makan; lalu kena sakit maag, akhirnya gampang sakit. Inilah tidak mengasihi diri.
Yang lain, makannya malah kebanyakan sampai overweight kemana-mana jalan susah sekali.
Egois bikin pasangan susah. ”Suami saya egois sekali, masa dia pulang kantor langsung masuk kamar, nonton TV tidak mau diganggu. Ditanyain juga diam saja.” Suaminya menjawab,”Saya kan butuh waktu untuk sendiri.”
Apakah suami ini egois atau ia memang butuh waktu sendiri? Atau sang isteri yang egois terus-terusan ganggu suami?
Memang benar, laki-laki ada kalanya butuh sendirian. Tapi, apakah hitam di atas putih? Ketika ingin sendiri, apa iya sama sekali tidak boleh diganggu? Kalau menerapkan hukum seperti itu, berarti suami yang egois. “Pokoke aku begini, kamu mau apa?” Kalau sudah pokoke diskusi berakhir, artinya kamu harus terima.
Dalam pernikahan harus fleksibel. Tanda orang matang adalah makin fleksibel. “Okey, saya cape dan saya pengen enjoy di rumah. Enggak pengen diganggu siapa-siapa.” Isteri juga tahu bahwa suami berhak atas hal ini. Suami boleh sendiri, lalu isteri menyediakan waktu bagi suami.
Kendati demikian, jika ada hal urgent yah, boleh dong diinterupsi. Mengasihi diri kalau tidak hati-hati berubah muka jadi egois. Di sisi lain, bila isteri intervensi terus, gantian isterinya yang egois.
Isteri sering kali kena penyakit gelisah kalau suami menyendiri. Maunya nanya terus sampai dijawab. “Kenapa begini, kenapa begitu?” guna memuaskan curiosity-nya (baca: rasa ingin tahu), juga supaya merasa penting. Begitu tidak dijawab, lantas bilang, “Dasar suami egois, tidak pikirin isteri.” Lha wong yang egois tuh, sopo?
Dalam pernikahan suami dan isteri harus fleksibel dan memiliki kepekaan.
Segala sesuatu jika dijadikan hukum pasti bahaya, kita bersyukur Tuhan Yesus datang ke dunia ini, melalui kebenaran kita telah merdeka!
Dalam hukum tidak ada hikmat. Berjalan bersama Tuhanlah hikmat tersedia. Hikmat tidak selalu harus A, kadang B, bahkan C. Tergantung situasi di mana Tuhan melihat apa yang harus dilakukan.
Jangan salah mengerti. Fleksibilitas bukan etika situasi. Etika situasi lihat-lihat mana yang menguntungkan dan menghalalkan segala cara. Di sini bukan menimbang apa yang menguntungkan, tetapi melihat apa yang Tuhan mau saya lakukan?
John C. Maxwell berkata Sukses adalah memastikan orang-orang yang paling dekat dengan saya itulah yang paling mengasihi dan menghormati saya.
Percuma suami sukses di kantor, tapi tidak dikasihi dan dihormati isteri bahkan dibenci anak-anaknya.
MASUKKAN BOX
Detik Terakhir
Liana punya satu cerita tentang pentingnya relasi dengan orang terdekat.
”Sebelum kakek saya meninggal, dia tidak minta apa-apa kecuali satu. Dia mau semua anak-anaknya datang berkumpul di kamarnya. Anaknya semua 9 orang, sudah datang 8. Tertinggal anak yang sulung, dialah papaku.”
Kakek berkata, ”Mana anakku yang pertama?” “Tenang Pa, sedang dalam perjalanan”, jawab saudara-saudara yang lain. Setelah papaku datang, kakek menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kakek meninggal setelah seluruh keluarga lengkap berkumpul.”
Dari cerita ini, kita sadar keluarga sangat penting. Ketika mendekati ajal, orang tidak berkata, ”Cepetan, sini aku mau lihat bunga deposito ada berapa banyak. Coba saya mau lihat sertifikat tanah ada di mana saja. Eh, emas yang saya kumpulkan 30 tahun sudah berapa kilo.”
Menjelang ajal seseorang ingin bersama dengan orang yang terdekat dengannya.
Siapa yang akan datang saat Anda sudah menjadi tua? Pastilah isteri dan anak-anak. Jangan sia-siakan mereka sekarang!
BOX SELESAI
Hasil riset seorang psikolog – Ronald L. Klinger. President Center of Succesful Fathering:
- Orang tua yang menghabiskan waktu dengan anaknya 40% lebih sedikit dibanding orang tua lainnya, menyebabkan keluarga akan bubar dengan kecenderungan yang mengerikan. Dalam waktu 5 tahun, 20% berakhir dengan perceraian; dalam waktu 10 tahun meroket jadi 33%.
- Pada tahun 2000, 28% (1/4) dari keluarga di AS dikepalai orang tua tunggal. 3/4 anak-anak yang berasal dari orang tua tunggal akan hidup miskin di usia 11 tahun.
- Setiap tahun, 20-30 Milyar US$ uang pembayar pajak digunakan untuk menunjang anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tua mereka.
Dari data ini, kita sadar. Jika waktu bersama anak-anak kita kurangi, dampaknya sangat negatif terhadap masa depan keluarga.
3. Mengukur Kasih
Dalam dunia semua ada ukurannya, panjang pakai meter, suhu pakai celcius, berat pakai kilogram. Juga kita tahu mengukur berat badan ideal. Gemuk atau kurus? Caranya: Tinggi badan – 110 = berat ideal.
Kalau mengukur kasih apa meterannya? Mengukurnya bagaimana? Ukurlah dengan waktu. Kasih = menyediakan waktu bagi keluarga.
Waktu ada dua macam, Quantity time dan Quality time. Pernah ada orang tua berkata, “Anak-anak disediakan saja waktu yang berkualitas, walaupun sedikit asalkan penting.”
Benarkah demikian?
Seorang Psikiater bernama Armani Cole berkata,“Waktu mirip Oksigen. Ada jumlah minimal yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup. Terlalu sedikit bisa mendatangkan kematian. Harus seimbang kuantitas dan kualitasnya.
Oksigen menipis di gunung yang tinggi, maka kita akan merasa lemas. Sebaliknya, jika kuantitasnya banyak seperti di kota besar, tapi kotor. Lama-kelamaan juga bisa pusing kebanyakan Co2. Lebih lama lagi kita bisa kena sakit paru-paru.”
Jika waktu seperti oksigen, maka yang diperlukan adalah kuantitas plus kualitas untuk mengembangkan hubungan yang hangat dan penuh kepedulian. Kasih bisa diukur dengan seberapa banyak waktu yang diinvestasikan (kuantitas) dan seberapa mahal investasi itu ditanam. (kualitas) .
Jika begitu, bagaimana mengatur agenda hidup kita yang sudah amat padat?
Presiden Amerika ke 26, Theodore Roosevelt pernah ditanya, “Dengan siapa Bapak paling senang meluangkan waktu?” Ternyata dia paling senang menghabiskan waktu dengan keluarganya dibandingkan dengan petinggi manapun. Rumah menjadi sorga yang aman di tengah badai.
Akhirnya, sepadat-padatnya hidup, kita harus mencipta satu prioritas bahwa keluarga diutamakan.
Jangan egois, berarti ada waktu bersama keluarga, waktu seperti apa saja yang kita ciptakan?
a. Acara Spesial. Misalnya, hari ulang tahun. Jangan lupakan hari itu. Berhentilah bekerja sesaat dan sempatkan mencari hadiah bagi kekasih Anda. Saya ingat pernah seharian mencari hadiah buat Liana. Seharian? Yah seharian! Karena saya ingin membahagiakannya. Sungguh mati tidak mudah mencari hadiah yang cocok bagi seorang wanita. Maksudnya cocok dengan kantong saya juga. He-He-He.
Bagi anak, mungkin saat anak-anak ingin ayah melihat kehebatannya, di hari pertandingan anak.
MASUKKAN BOX
Cuma 5 Menit!
Ada seorang anak yang senang bermain baseball, sangat kecewa kepada ayahnya. Padahal ia sangat mengharapkan ayahnya bisa menonton.
Pada hari pertandingan, betul ayahnya datang bersama dua orang temannya. Pertandingan belum dimulai. Anak ini sudah senang. Biasa show off, mau ayahnya melihat kehebatannya. Tapi apa yang terjadi? Ayahnya hanya lima menit di stadion itu! Absen saja. Ayahnya pergi sebelum pertandingan dimulai, karena ada urusan kantor.
Anak ini berkata dengan sedihnya, ”Sungguh hari itu adalah hari yang paling mengecewakan dalam hidupku!”
BOX SELESAI
Quality Time dihitung dari sisi orang lain dan bukan dari sisi kita. Merekalah yang menentukan apakah waktu yang dilewati berkualitas atau tidak.
Dalam cerita di atas, sutradaranya sang anak. Sang ayah pikir sudah memberikan Quality Time di tengah kesibukan yang luar biasa. ”Saya sudah hadir dalam pertandingan itu, yang penting kan aku datang walau cuma 5 menit. Aku sunggguh mendukung dia.” Bagi sang anak kehadiran sang ayah sungguh tidak ada gunanya.
Seorang ibu yang bekerja di kantor. Pulang kerja cape sekali, tetapi masih membacakan cerita sebelum anaknya tidur. Sang ibu menganggap itu sebagai Quality Time. Kalau sutradaranya sang anak, mungkin menganggapnya lain. Dia tidak senang mendengar cerita ibunya. Apalagi ceritanya sambil keluh kesah (cape sih), jelas tidak seru dan tak menarik.
Lalu, apa yang disenangi anak ini? Dia mau ibunya mendengarkan, ”Ma, banyak cerita yang aku mau ceritakan ke mama.” Tapi ibunya tidak pernah tanya. Mama selalu bilang,” Besok aja ya ceritanya, mama mau tidur dulu.”
Apakah investasi tiap malam akan diingat sang anak saat beranjak dewasa? Anda pikirkan sendiri….Ingat, sutradaranya anak-anak. Merekalah yang memilah masa-masa indahnya sendiri dan membuang semua ingatan buruk.
Persisnya, Quality Time tidak mungkin dipisahkan dari Quantity Time.
- Kebutuhan penting.
Jangan sampai saat ada anggota keluarga sedang ada kebutuhan penting kita tidak hadir. Tiga kali Liana melahirkan, Puji Tuhan! Saya selalu mendampinginya.
Menjadi saat-saat yang indah sekaligus mendebarkan! Saya berdoa baginya, agar persalinan berjalan sempurna. Sungguh Tuhan menjawab, semuanya lancar. Liana melahirkan ketiga anak kami secara normal dan cepat tanpa bete di rumah sakit.
- Mencipta waktu untuk bergembira .
Ada Fun, Leisure and Relax. Tanya anak-anak mau main ke mana? Mau melakukan apa? Tertawa adalah obat bagi manusia untuk melanjutkan kehidupannya. Waktu kecil kita senang tertawa, tetapi sekarang mungkin sangat irit ketawanya. Carilah kegembiraan, asal jangan berbuat dosa.
- Waktu berduaan.
Theodore Hersburg pernah berkata: Harta penting yang diperbuat seorang ayah bagi anak-anaknya adalah mengasihi ibu mereka. Hal terpenting bagi ketiga anak kami adalah: “I Love you, Liana and always love you.” Seperti lagunya Whitney Houston era 90-an.
4. Jangan Hidup Sendirian
Jadi, apa kesimpulan Not Egocentric?
Kita tidak dipanggil untuk hidup sendirian. Melalui hidup sehari-hari, kita sadar sungguh membutuhkan banyak orang.
Jika mau menjadi diri kita sendiri saja, U are U! Kata iklan, tanpa peduli orang lain, akhirnya hidup terisolasi. Pelan-pelan kita malas memperhatikan orang lain, padahal manusia dipanggil Tuhan untuk hidup bersekutu, terutama dengan keluarga yang kita kasihi.
Dalam Alkitab, panggilan ini Tuhan berikan kepada Adam, ”Tidak baik kalau manusia seorang diri saja, Aku akan menjadikan seorang penolong yang sepadan dengan dia.”
Ada wadah yang Tuhan sediakan agar kita belajar tidak egois. Wadah itu dalam bentuk keluarga, ada pasangan, ada anak-anak. Dalam hidup bersama-sama kita diasah untuk makin menyerupai Kristus.
Kalau sampai ada orang berkata,”Saya tidak butuh orang lain. Saya bisa kok hidup sendiri saja.” Ini adalah kesombongan yang luar biasa. Lihatlah semua yang menempel pada tubuh Anda, kaca mata, baju, celana, jam tangan. Tidak bisa kita buat sendiri bukan?
Ada penelitian pada beberapa bayi yang didiamkan dalam ruangan tanpa sentuhan. Semua bayi akhirnya mati walaupun mereka diberi makan.
Saya mau menceritakan kisah pernikahan Martin Luther, reformator yang sangat kuat kepemimpinannya. Dia ada kelemahan, kemarahannya meledak-ledak, jelas seorang kholerik. Kemudian beliau menikah. Isterinya, Kathy van Bora, adalah wanita Saxon yang berlidah tajam, seperti pisau. Begitu bicara, orang yang mendengarnya serasa diiris-iris sampai berdarah-darah. Ih ngeri…
Yang mengherankan, pernikahan mereka berjalan dengan lancar. Seperti pepatah mengatakan air sama air kelak menyatu, sampah itu pun ke tepi juga. Mereka menikmati kedamaian dan cinta kasih. Apa rahasianya? Martin Luther mengatakan, pernikahan adalah seperti sekolah pembentukan karakter. Kami berdua banyak belajar di sekolah itu.
Sekolah tidak usah pergi jauh-jauh. Rupanya sekolah ada di rumah. Begitu bangun tidur langsung sekolah sampai malam tiba. Sekolah ditutup untuk dibuka keesokan harinya saat mata terbuka menyingsing hari yang baru.
Keberhasilan pernikahan adalah dua orang yang tidak takut berubah dan bertumbuh. Mereka sama-sama tidak egois yang hanya menuntut pasangan berubah tapi justru mau menuntut perubahan diri sendiri.
Dalam keluarga ada INTERAKSI dan PERSEKUTUAN yang sejati. Persekutuan (fellowship) berarti mengalami hidup bersama-sama. Ada sama dimakan, tidak ada sama ditahan.
Suami istri yang telah ber-Janji Nikah di hadapan Tuhan. Sebuah janji yang mengikat, saya bersedia sehidup semati. Bukannya saya hidup kamu mati. Tapi maksudnya selalu bersama-sama ketika senang maupun susah, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin sampai maut memisahkan. Inilah fellowship yakni kebersamaan. Fellowship adalah relasi. Suami isteri berelasi, orang tua anak berelasi, anak-anak bersaudara juga berelasi. Keluargalah wadahnya.
Dalam Fellowship Tuhan Yesus hadir. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”
Bukan di tengah 1000 orang. Jika demikian, salah-salah kita tidak saling mengenal dan merasa sendirian di tengah keramaian. Tidak juga di tengah 1 orang. Kenapa satu orang tidak cukup untuk Tuhan hadir? Kenapa Tuhan Yesus katakan 2-3 orang? Karena firman Tuhan ini juga berbicara mengenai konteks keluarga, ada suami isteri dan anak.
Pada saat Family Altar, kita berkumpul membaca Firman dan doa bersama, Tuhan Yesus hadir. Itulah fellowship yang sebenarnya.
2 – 3 orang juga menyiratkan kasih yang membutuhkan objek. Rahasianya, Allah adalah kasih dan kasih tidak mungkin hadir dalam diri satu orang saja.
Bila tidak ada kasih antara suami isteri, persekutuan pasti hanyalah pura-pura saja. Konteks kasih terbesar sejatinya terdapat dalam keluarga, karena ada ikatan darah. Darah lebih kental dari air.Suami istri sudah bersatu dalam satu daging. Anak-anakpun dari darah daging mereka. Dalam ikatan ini, kasih hadir.
Ikatan kasih yang terindah adalah Tuhan Yesus yang mengasihi dalam ikatan darah. Darah-Nya yang kudus telah menebus dan menjadikan kita satu di dalam tubuh Kristus.
5. Keindahan Kebersamaan Keluarga
Dalam keluarga, kita dapat mengalami hal yang indah melalui fellowship:
Pada saat bersekutu hidup bersama, aslinya kelihatan.
Emas bisa dicampur logam menjadi karat yang berbeda-beda. Tetapi waktu dibakar dengan api, logamnya musnah sisa yang asli, emas murni.
Siapa diri kita sebenarnya, dalam istilah psikologi: The Real I. Siapa saya yang sesungguhnya? Tanpa topeng.
Bila kita bercermin siapa sesungguhnya diri kita, mungkin akan ketakutan setengah mati. Kitab suci menyatakan kita adalah manusia yang berdosa, dari dalam hatinya muncul pikiran jahat, fitnah, percabulan, hujatan dan iri hati. Waktu keaslian kita dibuka, sangat menakutkan.
Intisari Kitab suci adalah Tuhan Yesus mati di kayu salib demi kita; diri ini seperti sampah yang baunya busuk, tapi dengan kematian Kristus, Dia membawa kita ke tempat yang mulia, tempat yang indah.
Pada dasarnya manusia menutupi dirinya dengan topeng yang berlapis-lapis. Kita ingin dikenal sebagai orang baik, ramah, supel, makanya tebar senyum di sana-sini.
Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.
Orang biasanya berlagak baik di depan orang lain. Tapi dalam keluarga kelihatan seperti apa sih dia sesungguhnya. Kita bisa berlaku ramah di gereja, toh hanya satu sampai dua jam. Latihan paduan suara, melayani Tuhan, beribadah, rapat, kita mampu act as a good man, or be a good woman. Tapi waktu pulang ke rumah, orang rumahlah yang paling tahu siapa Anda. Nanti yang bersaksi tentang kita di hadapan Tuhan, bukan orang lain, tapi anggota keluarga kita.
Mengutamakan keaslian. Bukan berarti ‘Be Yourself” sebagaimana adanya aku. Istilah Be Your Self ada kesan keras kepala. Aku mau menjadi diriku seperti ini, so what?
Hanya Tuhan dalam kesempurnaan-Nya yang berhak berkata “I AM that I AM.” Dahulu, sekarang dan selamanya Aku tidak berubah.
Sebaliknya, kita harus berubah menuju kesempurnaan. Keluarga berfungsi sebagai cermin. Memantulkan siapa sesungguhnya diri Anda. Waktu kita bercermin, kelihatan semua jerawat kita. Cermin memantulkan apa adanya, bukan ada apanya.
Pasangan menjadi cermin, cuma isteri yang berani berkata pada suami, ”Kamu jadi orang kok kasar amat!” Di sisi lain, suami jadi cermin karena suamilah yang berani berkata pada isterinya, “Kenapa akhir-akhir ini kamu kok suka marah?”
Dalam keluarga, Anda bisa menunjukkan keaslian. Keluargalah yang menjadi bengkel, diri yang buruk diservice dan ditune-up supaya lebih baik lagi.
Mengalami kesalingan.
Saling membantu, saling mendoakan dan saling menopang.
Selamanya manusia membutuhkan tiga hal:
- Ditolong,
- Diperhatikan dan
- Dikasihi.
Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, pastilah frustasi, susah hati dan ujung-ujungnya kegilaan sudah menanti. Siapa yang memperhatikan kita? Siapa yang mau menolong kita? Siapa yang bisa mengasihi kita? Tetangga? Teman kantor? Tidak mungkin la ya…
Jika anggota keluarga tidak memperoleh hal di atas, dia akan mencarinya di luar. Banyak remaja terlibat pergaulan bebas, dunia narkoba karena mencari pengakuan dari teman-temannya. Mengapa demikian? Karena di rumah tidak mendapatkannya.
Papa sibuk kerja. Ibu out-door activity melulu. Akhirnya, anak remaja ini merasa dikasihi dan diterima saat berada di tengah teman-temannya. Apa kata temannya pasti dilakukan. Kalau lakukan yang baik ya enggak apa-apa, kalau yang buruk? Sungguh menyedihkan… Karena itu, jangan egois, kita harus membangun semangat kesalingan di dalam keluarga.
Semangat kesalingan adalah simbiosis mutualisme. Lawannya, parasitisme adalah Aku memakan kamu. Sampai kurus kering, aku tidak peduli, yang penting Aku tetap hidup.
Ada dua tipe egois:
- Hanya bisa menerima saja.
Kebahagiaan, emosi dan keputusan harus didapat dari orang lain. Orang lain yang harus membuatnya bahagia.
- Hanya bisa memberi saja. Ada motivasi tersembunyi, ketika memberi, dia ingin dipuji. Jadi, seringkali memberi tanpa melihat kebutuhan orang yang diberi.
Yang paling sehat adalah interdependent. Bisa memberi, bisa menerima, bisa mengasihi, bisa dikasihi, bisa memberi pendapat, bisa diberi masukan.
Mengalami pengampunan dan belas kasihan.
Apa yang membuat seseorang menjadi egois? Apa yang membuat seseorang tidak memiliki kepedulian kepada orang lain? Karena dalam hidupnya tidak pernah mengalami pengampunan dan belas kasihan. Dia menjadi orang yang keras di dalam hatinya, tidak peka terhadap kebutuhan orang lain. Melihat orang lain tidak muncul rasa mengasihi. Kemungkinan, dia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang kering kasih sayang.
Dalam keluarga, bisa mengampuni dan diampuni sesungguh-sungguhnya adalah pengalaman yang agung dan indah. Isteri yang bersalah tapi diampuni setulus-tulusnya oleh sang suami menjadi satu pengalaman mengharukan dan tak terlupakan.
Jika ada pengalaman diampuni, maka akan menjadi murah hati dan berbelas kasihan kepada orang lain. Keluargalah konteks yang paling tepat untuk mempraktekkan pengampunan dan saling mengasihi.
Hanya orang egoislah yang tidak bisa mengampuni orang lain. Orang egois mengampuni, tapi kemudian berkata,”Tapi saya tahu kok diantara kita sudah tidak bisa bergaul lagi.” Dia tidak mau belajar bahwa melalui konflik ada kesempatan makin dekat.
Konflik yang sehat setelah ribut, dua orang yang berseteru malah akrab. Konflik yang tidak sehat setelah ribut langsung terjadi perpisahan selama-lamanya.
Mengapa saat ini ada suami isteri tidak bicara berhari-hari? Dan yang berhari-hari dilanjutkan sampai berminggu-minggu? Bahkan ada isteri yang mengatakan sudah bertahun-tahun tidak akrab dengan suaminya. Suaminya malah apet luar biasa dengan teman kantornya. ngobrol berjam-jam tapi sangat dingin dengan isterinya. Kenapa begini?
Kemungkinan mereka pernah konflik, lalu saling menyakiti. Namun tidak ada pengampunan. Seperti sedang membangun bata demi bata, pelan-pelan tanpa terasa jadi sangat tinggi. Antara suami dan istri dipisah oleh bata tadi, mereka masih bersama tapi tidak bisa ngobrol lagi. Suami ada. Isteri ada, tetapi sudah tidak digubris karena tidak melihat. Batanya ketinggian!
Firman Tuhan berkata, sehingga kamu sebaliknya harus mengampuni dan menghibur dia, supaya ia jangan binasa oleh kesedihan yang terlampau berat.
Gimana rasanya dicuekin pasangan berhari-hari? Aduh rasanya sakit hati sekaleee…! Saya juga mau ngaku dosa. Pernah saya diamkan Liana berhari-hari. Eh, ga deh…dua hari aja! Saat ada konflik tak terselesaikan, ingin menghukum pasangan dengan mendiamkannya. ”Aku sudah malas bicara denganmu, lebih baik Aku diam saja.” Sebenarnya ini sangat menyakitkan. Tapi sekarang saya sudah bertobat, lagian tidak tahan diam-diaman.
Jangan egois, jika sekarang Anda main diam-diaman dengan pasangan. Mari kita merendahkan diri di hadapan Tuhan. Jumpai pasangan Anda. Ajak omong baik-baik sambil bawa bendera putih tanda menyerah. Peace man!
Jika kita memelihara kekecewaan, maka sesungguhnya kejahatan ada di dalam diri kita. Sebaliknya jika kita berkata kepada Tuhan, ”Tuhan, hadirkanlah kasih itu kepadaku!” Saat itu juga marah dan dosa hilang.
Dimana ada dosa, kasih hilang. Di mana ada kasih, dosa itu hilang. Kehadiran Tuhanlah yang membuang semua keinginan dosa dalam diri kita, maka peliharalah kasih terutama kepada pasangan dan anak-anak.
Setelah menikah mari kita menurunkan EGO serendah-rendahnya agar kekasih mendapat ruangan yang layak dalam hati kita. Jika tidak demikian, pastilah kekasih sudah diusir keluar oleh Si EGO yang menguasai diri kita.
Happy Lowering Our Ego!