Site Loader
D'Botanica (BTC) Mall. P01/01. Pasteur, Bandung.

Bab 2

Able To Communicate

Mahir Berkomunikasi

Apa yang menjadi biang keladi rusaknya pernikahan?

Masalah utama pernikahan dewasa ini bukanlah masalah seks, keuangan, ataupun masalah anak-anak. Melainkan hilangnya komunikasi suami-isteri. Hilang kemana? Sepertinya aneh sekali. Sejak kecil kan sudah diajar bagaimana ngomong, tetapi begitu menikah, kita merasa komunikasi jadi sangat sulit. Komunikasilah biang utama, pemicu semua masalah bahkan berujung pada perceraian.

Memang sejak kecil kita sudah belajar bertutur. Awalnya dari mengenal alphabet: A-B-C-D-E-F-G sampai Z dirangkai menjadi kalimat, lagipula bermacam-macam kata sudah diajarkan orang tua kita. Betul! Kita bisa bicara, bahkan terbiasa bicara. Tapi belum tentu apa yang kita sampaikan membangun dan memberi kekuatan bagi orang lain. Kita paham berbicara, tapi berkomunikasi dengan benar? Saya pikir, Anda pasti bisa melakukannya dengan mumpuni setelah merenungkan Bab ini. Awali dengan Doa. 

Kala memasuki dimensi kehidupan yang baru yaitu pernikahan, kita mulai menjalani kehidupan bersama seorang yang BUKAN diri kita. Dia dibesarkan dengan cara yang berbeda, termasuk caranya berkomunikasi. Karenanya, komunikasi menjadi gampang-gampang susah.

Mari kita telusuri komunikasi secara teologis.

1. Pandangan Teologis

Mengapa komunikasi menjadi sangat berarti bagi manusia? Saya percaya, manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Allah yang kita sembah adalah Allah Tritunggal. Di dalam kekekalan Dia tidak pernah sendirian. Ia adalah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Sebelum semuanya ada, dan sebelum manusia ada, Allah Tritunggal saling berkomunikasi, saling berelasi di antara Mereka di dalam kekekalan.

Itulah alasannya, mengapa manusia tidak dicipta sendirian. Sejatinya, Tuhan ingin manusia berelasi satu dengan yang lain serupa dengan komunikasi yang dibangun Allah Tritunggal dengan berlandaskan kasih.

Apa yang terjadi kalau manusia tidak berelasi? Kesepian. Sungguh kesepian. Bukankah salah satu penderitaan manusia yang paling berat adalah kesepian? Berapa banyak manusia meregang nyawa karena kesepian?

Di tengah keluarga, bersama suami tercintapun kesepian mampir, karena gagal berkomunikasi. Sering pula kita menemukan orang yang kesepian di tengah keramaian karena tidak mampu MEMULAIkomunikasi dengan orang lain.

Bila muncul kesadaran ini, seharusnya kita melatih Social Need sehingga komunikasi menjadi tokcer, dengan pasangan kita tentunya.

Seorang yang membangun komunikasi dan relasi dengan orang lain, berarti mendekati gambar dan rupa Allah. Di sisi lain, kalau tidak cakap berkomunikasi, pastilah sedang menjauh. Mengapa demikian?

Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, situasi keluarga menjadi kompleks luar biasa. Akhirnya, dosa membuat manusia menjauhi gambar dan rupa Allah, ujung-ujungnya komunikasi suami isteri memburuk.

Saya perhatikan banyak suami-isteri yang BERDOSA ketika berbicara kepada pasangannya.

Apa yang dimaksud dengan jatuh ke dalam dosa sewaktu bicara? Mari kita melihat contoh komunikasi suami-isteri dari Firman Tuhan. Komunikasi bisa dibagi dalam dua kategori yaitu SEBELUM manusia jatuh dalam dosa dan SESUDAH manusia jatuh dalam dosa.

(bersambung)

Komunikasi Sebelum Jatuh Dalam Dosa

Sebelum jatuh ke dalam dosa, manusia berkomunikasi dengan indah sekali. Adam berkata pada Hawa, sebuah puisi yang sangat memukau ketika Adam melihat Hawa. Apa yang dikatakannya? “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”[1] Indah sekali bukan? Hawa tersanjung mendengarkan puisi Adam dan mungkin menjawab,”Oh, sungguh aku berbahagia boleh menjalani hidup bersamamu, Suamiku.”

Sebelum jatuh, komunikasi Adam Hawa terjalin mesra. Bisa memuji, mudah mengerti, dan cakap membangun satu sama lain. Setelah berbincang-bincang perasaan mereka makin terikat kuat, menyatu dan mengasihi.

Komunikasi Setelah Jatuh Dalam Dosa

Apa yang terjadi setelah manusia jatuh dalam dosa?

”Tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati!”  Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”

Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.

Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.  Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.

Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: “Di manakah engkau?” Ia menjawab: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Firman-Nya: “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Ku-larang engkau makan itu?” Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.”  Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada perempuan itu: “Apakah yang telah kauperbuat ini?” Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.” [2]

Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, mari kita telaah Firman Tuhan di atas. Tuhan pernah mengatakan kepada Adam, “Jangan pernah memakan buah itu” tetapi Adam tidak mentaati-Nya, akibatnya masalah besar bertamu tanpa diundang.

Sewaktu Tuhan meminta pertanggung-jawaban Adam, apa jawabannya? Dia langsung MENYALAHKAN Hawa, “Perempuan itu yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu, maka kumakan”. Lalu apa jawab Hawa? Dia mencari korban untuk disalahkan juga. Menyalahkan siapa? Ular. ”Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.” Ular dicela-cela jadi bingung deh karena tidak bisa menemukan korban berikutnya. Inilah komunikasi suami-isteri setelah jatuh dalam dosa, SALING MENYALAHKAN.

Kita sadar pernikahan tidak pernah terlepas dari masalah. Sebelum menikah, sang pria punya setumpuk masalah, sang wanita same-same. After marriage, masalah mereka jadi dua tumpuk kan? Tambah berat! 

Jangan pernah berpikir pernikahan akan menyelesaikan masalah yang ada! Masalah justru berkembang semakin kompleks, karenanya suami-isteri dituntut mahir berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Seyogyanya masalah ada untuk membuat manusia semakin kuat dan bergantung kepada Tuhan. Yang terjadi justru sebaliknya, yang menyedihkan… kehadiran masalah ditambah keberdosaan manusia, suami-isteri bicara tapi malah makin terpisah. Makin berkata-kata malah makin jauh. Saat  menghadapi masalah, saling menyalahkan.

Suami menyalahkan isteri. ”Kamu sih orangnya, pelupa! Semua orang juga bilang kamu payah. Sekarang lihat kamu yang bikin semua ini jadi begini. Saya jadi percaya kamu memang payah. Ini semua gara-gara kamu. Aku kan kemarin sudah bilang, jangan begitu! Dasar tidak mau dengar kata-kata suami!”

Isteri sakit hati, dituding-tuding dan tentunya tidak mau dikata-katai. Bagaimana reaksinya? Ada dua kemungkinan:

  1. Dia akan membalas dengan menyalahkan suaminya kembali (kalau berani). Atau mencari korban lainnya, anak-anak, pembantu, dan binatang piaraan (kalau ada) di rumahnya.
  1. Kalau tidak berani, akhirnya menyalahkan diri sendiri, ”Memang aku isteri yang bodoh dan payah.” Isteri jadi stress, tidak bahagia, dan membangun self-pity, ”Yah, aku lagi yang salah.”

Pastinya komunikasi seperti ini menanam kepahitan demi kepahitan sampai berakhir dengan kehancuran pernikahan.

(bersambung)

2. Pola After Fall

Mari kita telaah pola komunikasi dalam pernikahan: (1) Manusia telah jatuh dalam dosa, (2) Masuk ke dalam pernikahan seumur hidup, (3) Muncul masalah, (4) Timbul saling menyalahkan antara suami isteri, (5) Muncul masalah baru (6) Saling menyalahkan lagi, …dan seterusnya menjadi pola kejatuhan keluarga.

Awalnya mungkin masih dapat saling mengampuni. Tapi kehidupan tidak makin simple melainkan kian kompleks setiap hari. Bagai memasuki jaring laba-laba. Persoalan selalu hadir di dunia yang gelap ini. Jika tidak cepat-cepat diselesaikan, niscaya akan berakumulasi dan mudah sekali memicu perang dingin bahkan perang nuklir!

Jika perang dingin berkelanjutan so pasti kebekuan memuncak.  Perlahan tapi pasti akan menghilangkan rasa percaya (trust) antara suami isteri. Sulitnya, dikala menghadapi masalah, jika pasangan yang buat salah, dan pas kita yang benar, kita merasa menang set. Kita akan terus menyalahkan sampai pasangan merasa buruk sekali. Sudah begitu kita tidak langsung memaafkannya karena kesal. Tambah cilaka lagi kalau kita yang bersalah, malah pasangan bisa kita salahkan double porsi. Loh kok gitu?

Ya, iyalah…buat bela diri supaya tidak disalahkan (persis Adam Hawa), karena sifat mau menang sendiri atau egois. Sebaliknya kalau dia yang benar, seringkali kita malah tidak mau ngaku. Kita anggap sudah seharusnyalah begitu. Muji juga males.

Setiap bicara, komunikasi dipakai sebagai alat untuk: Membela diri, mencari-cari kesalahan, menuntut  pasangan, mendepankan kepentingan pribadi plus melindungi diri. Akhirnya, hubungan suami isteri dingin, beku kayak es batu. Mereka masih bersama dalam satu rumah tetapi sudah malas ngomong. Kalau bicara pasti bertengkar.

Tidak heran di seluruh dunia, banyak terjadi perceraian, perselingkuhan, dan poligami. Sebabnya? Dengan isterinya, suami merasa, wah pertama kali ketemu bicaranya sih enak, lama-lama kok jadi nyelekit, konflik terus. Akhirnya hubungan jadi dingin, sudah tidak nyaman lagi deh rasanya.

Suami isteri tetap tidur seranjang, tapi sudah tidak ngobrol. Suami pulang ke rumah, ketemu isteri tapi malas bicara. Anak-anakpun dapat melihat dan merasakan, papa mamanya tidak mesra dan hangat. Tapi manusia kan butuh ngomong. Akibatnya, suami cari teman bicara yang lain, kebetulan iblis selalu bekerja siang dan malam, ngantri saja wanita yang butuh ditolong atau diperhatikan sang suami.

Perlahan tapi pasti, karena komunikasi di rumah beku, sang suami bisa kepeleset dalam perselingkuhan, poligami, ataupun  perceraian. Inilah yang kita sebut sebagai proses ‘After Fall’. Proses setelah manusia jatuh ke dalam dosa.

Dalam proses after fall, kehidupan keluarga kelihatannya seperti tidak terjadi apa-apa. Soalnya, suami-isteri masih seatap, ke gereja masih sama-sama, rekreasi dengan anak-anak pun belum absen, tetapi yang esensi yakni relasi sudah broken.

Kebersamaan masih ada tapi tidak menikmatinya. Suami yang tidak enjoy melarikan diri ke pekerjaan, pelayanan, hobi atau apapun. Pulang malam. Isteri yang tidak enjoy sami mawon cari kesibukan yang tidak penting atau dekat dengan anak. Anak dijadikan objek kasih yang berkelebihan berakibat hubungan ibu-anak yang tidak wajar. 

Suami isteri akhirnya merasa terjebak dalam pernikahan seumur hidup. Terikat dengan pasangan yang selalu menyalahkan atas segala masalah.

Tentu saja tidak seorangpun memimpikan hal ini terjadi atas pernikahan kita, bukan?

Lalu, apa jalan keluar dari pola merusak ini?

(bersambung)

3. Memutuskan Pola After Fall

Bagaimana cara memutuskan pola ‘after fall’?

”Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” [3]

Manusia secara natur lebih cepat marah, makanya Firman Tuhan berkata,“Lambatlah marah!”. Harusnya cepat mendengar, karena manusia itu lamban mendengar. Firman Tuhan ingin mengarahkan kembali. Di sini, jelas terlihat natur keberdosaan manusia, manusia dengan mulutnya itu, aduh, amit-amit…sangat-sangat kejam! Sangat mudah menyalahkan, terutama menyalahkan orang yang dekat dengannya.

Kenapa yang terdekat? Karena paling enak dihantam. Pepatah bilang Anjing menyalak tiada menggigit. Nyalah-nyalahin orang lain kan tidak berani, beraninya, ya di rumah, banyak suami seperti ini. Di rumah petantang-petenteng mirip Si Pitung. Coba di luar, mana berani? Isteri juga same-same beraninya sama suami.

Agar cakap berkomunikasi:

Pertama, haruslah selalu ingat Huruf G di Bab 1, God as The Foundation of Marriage, Tuhan sebagai fondasi pernikahan. Tuhan kita Yesus Kristus yang menjadi pengikat dan sumber kasih suami-isteri.

MASUKKAN BOX

DIAM-DIAMAN

Kami dahulu pernah ribut, sampai tidak bicara selama dua hari. Saya tidur menghadap Barat. Liana tidur menghadap Timur. Untung masih seranjang. Keributan saat itu cukup seru, tema keributan apa kami sudah lupa tuh. Tapi perasaan negatif yang menguasai, masih teringat jelas sampai sekarang. Waktu itu kami baru menikah tiga tahun, masih beradaptasi untuk mengenal satu sama lain.

Ribut sebenarnya normal, semua rumah tangga pasti mengalami. Saya masih ingat, saya marah pada Liana. Marah luar biasa karena yakin dia SANGAT bersalah. Karena saya merasa Liana yang salah, maka saya menuntut dia untuk minta maaf. Eh, kok malah tidak sadar akan kesalahannya ya? Kok tidak minta maaf.

Jadi, saya mendiamkan dia. Eh.. eh.., Liana balas, dia mendiamkan saya juga. ”Memangnya salahku? Ini semua salahmu!” pikirnya. (Seperti lagunya Project Pop, maramaramara). Persis anjing dengan kucing.

Dari posisi saya, yang salah ya Liana. Dari posisi Liana, yang salah ya saya. Dasar manusia berdosa, tidak ada yang mau mengaku salah! Tapi setelah lewat dua hari diam-diaman saya gelisah sekali, akhirnya berdoa, “Tuhan Yesus tolonglah saya, supaya saya bisa mengampuni isteri saya ini. Tuhan, tolonglah saya supaya Tuhan kembali memberikan kasih kepadaku”. Aneh bin ajaib, begitu berdoa, Tuhan secara supranatural langsung menjawab! Dia menyurutkan amarah dan menghilangkan kegelisahan saya. Dengan rendah hati saya pun mau menghampiri Liana dan mengakui kesalahan.

Kalau mau jujur, mana ada sih masalah karena satu pihak? Setali tiga uang. Suami atau isteri pasti ada bagian salahnya. Tahu-tahu Liana mengaku salah juga. Akhirnya kami berbaikan. Liana tidak menghina saya tetapi menerima saya dengan baik.

BOX SELESAI

Waktu terjadi keributan, mengapa tidak berdoa? Apa karena merasa tidak ada hubungannya dengan Tuhan? Apa malu datang kepada-Nya dengan keadaan emosi yang sedang marah? Atau ego terlalu besar untuk meminta pertolongan Tuhan?

Saat ribut, maunya pasangan yang minta maaf terlebih dulu, jika perlu sampai berlutut! Tapi, untuk memutuskan pola ”after fall” sepatutnya kita datang kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya supaya komunikasi terbuka lagi. Tuhan pasti dengan senang hati menolong. Penting sekali kehadiran Tuhan Yesus dalam rumah tangga kita.

Ada seorang pernah berkata: ”Waktu masih pacaran, aku tergila-gila sama kamu. Sekarang, setelah menikah bertahun-tahun, kalau tidak ada kamu, aku bisa gila!” Inilah contoh perkataan pernikahan yang sehat. Sampai suami-isteri tua, rambut putih, perasaan saling membutuhkan makin terbentuk, perasaan nyaman saat bersama-sama makin dinikmati.

Dengan anugrah dan belas kasihan Tuhan, Andapun pasti akan menikmati pernikahan

(bersambung)

4. Isteri sebagai Teman

”Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.”[4]

Jelas satu kesalahan jika kita berpikir, setelah menikah, akhirnya terjebak dengan orang yang akan menyalahkan kita seumur hidup. Sejatinya waktu kita menikah, Rasul Petrus berkata apa? Tuhan telah memberikan kepada kita seorang teman. Puji Tuhan! Seorang TEMAN! Seorang BEST FRIEND!

Firman Tuhan mengatakan bahwa isteri adalah teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan. Disinilah indahnya, suami-isteri yang menikah bukannya terjebak dalam proses saling menyalahkan seumur hidup. Tapi melalui kehadiran Tuhan Yesus dalam pernikahan, suami-isteri bersama-sama menjadi ahli waris dari kasih karunia Allah, yang adalah KEHIDUPAN. Pepatah bilang, terapung sama hanyut, terendam sama basah.

Menjalani kehidupan sehari lepas sehari, semestinya mengundang Roh Kudus untuk memakai emosi dan pikiran, menggunakan segenap kemampuan. Supaya kemenangan Kristus Yesus atas dosa, nyata melalui diri kita. Mendemonstrasikannya harus tidak putus-putus seumur hidup sampai maut memisahkan.

Jadi, prinsip dasar komunikasi sebenarnya adalah ‘best friend’. Suami isteri temanan bukan musuhan. Karena jujur saja, kalau terus-terusan disalah-salahin, lama-lama pusing juga dan ga pengen dekat-dekat, kan?

Firman Tuhan berkata: “Jadilah teman!” Orang yang berteman saling menjaga perasaan. Supaya tidak menyakiti, kita memikirkan dan memilih kata-kata yang baik buat mereka. Kita emoh mendemonstrasikan dosa, tetapi secara sengaja mau berusaha agar sang teman melihat Kristus hadir dalam diri kita.

Ini bagian yang penting sekali! Coba pikirkan…Sebentar saja….Waktu kemarahan menguasai, di mana Kristus? Waktu power mengata-ngatai pasangan muncul, adakah Kristus di sana?

Kalau kita bisa stop sejenak dan berpikir sedikit saja, tentu sangat menolong. Dimanakah Tuhan waktu kita ingin marah ataupun berdosa mencela pasangan?

Kalau Tuhan di sini. Apa yang akan dilihat-Nya? Apa yang akan didengar-Nya?

(bersambung)

5  Komunikasi I and I, I and It dan I and Thou

Sekarang kita masuk ke hal yang praktis. Martin Buber pernah membagi komunikasi menjadi tiga: ‘I and I’,  ‘I and It’ dan ‘I and Thou’.

Komunikasi I and I

‘I and I’ artinya apa?

Menguasai pembicaraan. Misalnya, seorang isteri yang bicaranya tidak habis-habis. Nyerocos terus, nggak ada titik, tak pake koma, berpindah dari satu topik ke topik lain tanpa membutuhkan jawaban atau respon suaminya.

”Pa, tahu enggak, tetangga sebelah tuh orangnya bla..bli..blu.., dilanjutkan… pembantu kita seharian ngapain aja tuh di kamar ble..blo…, berikutnya… anakmu tuh tadi di sekolah bla..bli…abis itu…(fill in the blank)….” Beginilah seorang berdosa bicara, searah.

Sewaktu berkata-kata, ternyata apa yang dibicarakannya hanya manifestasi dirinya saja. Ngomongnya asal pula. Memang lidah tak bertulang. Berbicara hanya untuk memenuhi kepuasan diri sendiri. Pasangannya sih ada di sisinya, tapi cuma sebagai aksesoris.

Gantian suami I and I. Wah…ngomongin segala macam, dari urusan kantor, kartu kredit, perang Irak, sampai pemilu presiden. Giliran isterinya bicara, sang suami tidak mendengarkan apalagi berespon. Kalaupun berespon, isterinya harus bisa menjawab sesuai kemauan suaminya. Sesungguhnya sang suami sedang bicara dengan dirinya sendiri. Bila istrinya memberi pendapat lain, suami tersinggung.

”Ntar dulu, kamu nggak ngerti yah, makanya dengerin dulu, saya belum selesai.”

Lah…dari tadi tidak selesai-selesai?

I and I tidak mengenal diskusi. Maunya didengarkan saja. Dia ingin, waktu bicara, betul-betul dihormati dan dihargai. Pasangannya tak usah deh kasih pendapat segala. Bikin pusing aje. Apalagi kasih pendapat yang berbeda. Kalau beda, saya marah nih!!

I and I bergerak dalam lingkaran sentripetal. Bergerak ke dalam, dia berinteraksi sendirian. Asyik dengan dunianya sendiri dan tidak peka akan dunia luar. Dia orang yang sangat egois. Kamu ada hanyalah untuk mendengarkan aku. Kalau tidak ada kamu, nanti aku disangka orang gila lagi. Bicara sendirian.

Komunikasi I and It

Macam  kedua adalah ‘I and it’, artinya seorang yang menganggap lawan bicaranya bukan orang, tapi benda. Waktu bicara, heran sekali, sukanya perintah-perintah semau dewe. Pasangannya dimanipulasi.

Saya tidak peduli kamu lagi ngapain, saya tidak peduli kebutuhanmu, saya tidak peduli perasaan kamu. Pokoknya kamu ada untuk memenuhi kebutuhan saya. Tolong ambil ini! Tolong ambil itu! Tolong kerjakan ini! Tolong kerjakan itu! Tolong buatkan ini dan tolong buatkan itu. Tolong…!

Waktu sedang butuh, pasangannya diajak bicara (padahal cuma perintah doang). Waktu tidak butuh, disuruh pergi. Seenaknya saja memperlakukan pasangannya, ya… betul-betul seperti barang. Lagi perlu diambil dan dipakai. Kalau sudah tidak perlu, yah disimpan masukin gudang atau dibuang.

Pasangan yang diperlakukan seperti benda, pasti akan merasakan ketidak-nyamanan saat bersama pasangannya. Hatinya menjerit! ”Kamu anggap saya itu apa? Pikirin dong perasaan saya?” teriaknya dalam hati. Tapi tak berdaya, bagai burung patah sayap.

Manusia yang jatuh dalam dosa, jahat sekali. Itulah sebabnya Kristus harus mati di atas kayu salib untuk menebus segala dosa kita. Jika Kristus sudah hadir dalam keluarga, mulailah kita mampu berbicara ‘I and Thou”, Aku dan Dia. Person to Person.

Komunikasi I and Thou

I and Thou berarti menganggap pasangan sebagai orang yang sudah ditebus oleh Tuhan. Tuhan MENGHARGAINYA luar biasa! Karena itu, saya patut  menghargainya juga. Kristus telah mati bagimu, engkau pasti sangat diindahkan Tuhan. Saya wajib menganggap dirimu sebagai seorang yang indah pula di mataku.

Komunikasi ‘I and Thou” membutuhkan kesadaran. Kepekaan yang tinggi memilih kata-kata, tahu berbicara dengan siapa, tahu pembicaraan mau mengarah ke mana.

Dia dapat merasakan kalau percakapan mulai naik tensinya. Bisa dari nada, mimik wajah, ataupun gerak-gerik. Dia sadar dan peka, karena sambil bicara, tetap memperhatikan pasangannya. Tahu, apakah percakapan itu dapat dilanjutkan, ataukah harus di-break dulu. Komunikasi I and Thou paham motivasi terdalam, mengapa saya berkata sesuatu.

Jika kurang peka, biasanya tidak tahu arah pembicaraan mau ke mana. Walau sudah naik tensi dan naik emosi, cuek saja… Ngomong terus! Itulah model I and I atau I and It. Sedihnya, sering kali ada suami atau isteri, motivasinya jahat. Sengaja berbicara sesuatu untuk menjatuhkan sampai sakit hati! Baru tahu rasa kamu! Ini yang berat!

Tanpa kehadiran Kristus, saya ngeri membayangkan kehidupan rumah tangga. Dalam komunikasi saja, berkata-kata kasar dan ingin menghukum. Sengaja merancang kalimat sesadis-sadisnya menjatuhkan pasangan. Mengapa seseorang bisa sampai begitu? Karena ingin membalas.

Mungkin, kemarin-kemarin suaminya lupa sesuatu yang sangat dia perlukan. Mulailah sang isteri, entah apa motivasinya,  menyindir-nyindir. Waktu didengar sangat tidak enak. Apalagi di depan anak-anak. Mereka jadi kehilangan hormat pada orang tua. ”Ih, mama kok ngomongnya gitu sih sama papa?” Gawat kalau anak sudah berkata begitu.

Sebaliknya, dalam komunikasi ‘I and Thou’ timbul keinginan saling mendengar, timbul suasana yang dialogis. Setelah suami bicara, gantian isterinya, suami sekarang mendengar. Ada saling penerimaan atas pendapat yang berbeda sekalipun, karena menghargai pasangan sebagai manusia seutuhnya yang memiliki emosi, pikiran, dan kehendaknya sendiri.

Komunikasi I and Thou menuntut suami-isteri melatih kemampuan berkonsentrasi pada apa yang dikatakan pasangan. Jika sedang lelah, tentu susah sekali menerapkan I And Thou. Sekali waktu, Liana sedang bicara sesuatu di mobil, saya menyetir dan hanya meresponi dengan, ”He eh, he eh.” Mengiyakan. Liana berkata-kata lagi, saya terusin he eh nya. Tahu-tahu mobil kami nyasar karena saya sedang cape. Sambil nyetir sambil mendengar isteri berkicau: Tra la la Tri li li…

Mempraktekkan I and Thou suami isteri harus mencari tempat dan waktu yang tepat. Ditambah keadaan tubuh yang prima. Bukan di tengah kelelahan, karena harus memberikan konsentrasi yang terbaik supaya komunikasi terjalin lancar.

(bersambung)

MASUKKAN BOX

I AND THOU SEMINGGU SEKALI

Komunikasi saya dan Liana pernah mengalami kehancuran pada tahun ketiga pernikahan. Kalau bicara, pasti saling menyakiti. Akhirnya kami harus sering menerapkan I and Thou. Caranya? Sengaja mengadakan waktu khusus seminggu sekali untuk berduaan. Mencari restoran fast food yang murah meriah atau tempat yang tenang, dimana kami bisa saling bicara. Memperhatikan dan mendengarkan.

Jostein, anak pertama kami saat itu usianya hampir dua tahun. Kami titipkan di rumah ibunya Liana. Waktu yang hanya satu sampai dua jam setiap minggu tetapi dikhususkan, sungguh memberi kesegaran bagi kami. Liana tahu apa yang saya inginkan, saya pun mulai belajar memahami apa yang dia rindukan. Komunikasi I and Thou yang hanya 1 – 2 jam sungguh memberikan kegairahan baru untuk maju terus dalam pernikahan. Siap menghadapi segala permasalahan yang bertamu di rumah kami.

BOX SELESAI

Mari kita menciptakan waktu berdua dengan pasangan sebagai moment yang indah untuk berkomunikasi. Saat Tuhan hadir bersama kita, komunikasi seperti apa yang Dia ingin dengarkan? I and I, I and It, atau I and Thou?

(bersambung)

Komunikasi dan Intimasi

Sayang yah, jaman begini atau mungkin dari jaman dulu, banyak suami-isteri yang tidak cakap berkomunikasi. Suatu ketika seorang isteri berkeluh-kesah. Tiap kali mengajak suaminya bicara, selalu menonton TV atau membaca koran. Anda pernah mengalami hal ini? Pasti sangat menyebalkan.

”Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran.”[5]

Berkomunikasilah dengan baik, kalau tidak, firman Tuhan sudah memberi penyingkapan. Jangan-jangan kita akan mendapat kesukaran. Faktanya, kesukaran sudah dialami semua suami isteri di jagad ini. Berbicara kan sebenarnya adalah sebuah kemampuan yang Tuhan berikan sejak kita masih kecil. Anehnya, sewaktu dewasa, dengan orang yang paling dekat saja tidak nyambung. Tulalit…Tulalit…

MASUKKAN BOX

Wanita dan Hakim

Ada humor mengenai kegagalan komunikasi.  Seorang wanita menghadap seorang Hakim berkenaan dengan gugatan cerai suaminya:

Hakim (H) bertanya, “Apa yang menjadi dasar dari gugatan cerai suami Anda?”

Wanita (W) “Ya, kami punya tanah Pa Hakim, sebesar empat hektar di Bogor situ, dan sebuah rumah kecil, ada di kompleks yang sedang berkembang pesat.”

(H) “Begini Ibu, maksud saya ya… apa dasar dari gugatan cerai suami Anda ini?”

(W) “Dasarnya? Dasarnya ya, kalau rumah saya itu terbuat dari marmer yang kuat sekali, tidak bakal hancur, kayu-kayunya juga dari jati, kuat sekali deh Pa Hakim.”

(H) “Begini Bu. Saya coba mengubah pertanyaan saya. Bagaimana sesungguhnya relasi kalian ini?”

(W)  “Relasi saya ya banyak lho, Pa! Saya punya tante, saya masih punya om, keponakan saya juga ada tiga orang, teman-teman saya banyak. Suami saya juga masih punya relasi yang banyak.”

(H) “Aduh, mungkin Ibu ini…tidak mengerti ya…Saya akan mencoba mengubah pertanyaan lagi. Kenapa, kenapa Ibu mau bercerai ini? Kan datang kepada saya hari ini kan untuk mengurus gugatan cerai dari suami Anda. Kenapa ini?”

(W)  “Lho, Pa Hakim, bukan saya yang mau cerai tapi suamiku itu lho yang mengajukan cerai. Menurut suamiku, ia tidak bisa berkomunikasi denganku.”

(H) ”Oh begitu, kalau begitu sekarang saya mengerti mengapa suami Anda menggugat cerai anda. Tidak bisa berkomunikasi toh…”

Apa yang terjadi selanjutnya? Gugatan cerai langsung disetujui Pak Hakim, memang susah bicara dengan ibu ini. Enggak nyambung gitu lho! Hakim ini bertanya apa yang mendasari perceraian mereka. Kok dijawab dasar rumah. Waktu ditanya keadaan relasi suami isteri? Eh… dijawab relasi hubungan keluarga. Aduh, siapapun tidak tahan berbicara dengan orang seperti ini.

BOX SELESAI

Sekarang mari kita soroti eratnya komunikasi dengan keintiman suami isteri.

Apa Arti Intimasi?

Mari kita renungkan, jika anda sudah menikah di atas lima tahun atau di atas 10 tahun. Apakah Anda masih suka intim berduaan dengan kekasih Anda? Apa artinya intim? Dua orang yang menikah, masih membutuhkan untuk berduaan saja tanpa diganggu.

Suami isteri masih senang berada bersama-sama. Orang yang intim mengaku kepada pasangannya,”Saya membutuhkan kamu sebagai seorang pribadi. Saya ingin berdekatan denganmu. Saya sangat menikmati kedekatan itu.”

Jadi, berduaan tidak dalam keadaan kesal, terpaksa dan tidak nyaman. Aduh, aku harus berdua sama dia. Temani dia lagi, temani dia lagi. Bukan seperti kucing dan anjing, kalau ketemu langsung berkelahi. Suami-isteri yang intim selalu ingin berdekatan dan saling membutuhkan. Terlebih lagi, mereka menikmati keberadaan itu.

Orang yang intim tidak membicarakan masalah benda atau objek saja. Tidak hanya membicarakan masalah-masalah di luar diri. Lalu apa yang mereka bicarakan?

Percakapan dibagi dua macam: Percakapan eksternal dan percakapan internal.

Percakapan Eksternal adalah percakapan tentang objek di luar diri. Misalnya: membicarakan anak, pekerjaan kantor, atau tetangga. Juga hal-hal lain yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan diri. Okey itu perlu. Bahkan harus ada, karena kalau itu tidak ada, apa lagi yang bicarakan?

Masalahnya, kalau percakapan hanya sebatas itu saja. Saya yakin suami isteri BELUM mencapai keintiman sejati.

Intimasi sesungguhnya dibangun dari percakapan yang bersifat dari hati ke hati (heart to heart). Inilah Percakapan Internal. Suami isteri yang intim suka membicarakan hal-hal di luar diri, tetapi juga saling berbagi perasaan. Ada saatnya membuka perasaan kita APA ADANYA kepada pasangan.

Kita membagikan kekuatiran, kegelisahan yang dirasakan, ketakutan akan masa depan, ataupun sukacita, kesenangan dan kebahagiaan kita. Percakapan ini sungguh tidak tergantikan oleh orang lain. Artinya, hanya suami atau isterilah yang menjadi teman berbagi perasaan yang sangat tersembunyi itu.

Saya menemukan banyak orang tidak cakap membagi perasaan-perasaannya. Mungkin karena mereka sendiri tidak MENGENALI perasaannya sendiri. Tahunya,”Ah, mungkin saya miskin emosi”. Mereka acapkali merasa susah, tapi tidak tahu sebabnya. Bawaannya bete, ingin marah-marah terus. Kenapa saya begini? Ada orang tertentu yang sulit untuk membuka diri. Tidak mampu membagikan perasaannya.

Beberapa alasan yang mungkin menjadi penghalang untuk mengemukakan perasaan. Alasan tiap orang pasti beda-beda:

  1. Malu. ”Ntar kalo saya cerita, malah diledekin lagi, nanti tidak menghormati saya lagi.”
  2. Takut kehilangan. ”Ntar kalo saya cerita, dia akan meninggalkan saya.”
  3. Tidak mengenali perasaannya sendiri. ”Wah, saya nggak punya perasaan apa-apa tuh.”
  4. Tidak punya communicating skill alias tak bisa berkata-kata. ”Aduh, sebenarnya aku ingin sekali menceritakan perasaanku, tapi ngomongnya gimana? Mulainya dari mana? Ntar malah salah ngerti!”

Yang mana alasan Anda? Campur-campur bisa. Mungkin hanya satu, mungkin semuanya. Yang jelas, hasilnya sama saja, tidak mampu mengungkapkan perasaan.

Sejatinya, pembicaraan internal lebih sulit daripada eksternal. Pembicaraan internal menyangkut diri sendiri. Harus Open. Speak The Truth In Love. Sejak manusia jatuh dalam dosa, perasaan yang menguasai adalah  M A L U. Kok Malu? Karena berton-ton dosa perlu dibungkus rapat-rapat. Jangan ketahuan!

Saya yakin jika hubungan dengan Tuhan sudah dipulihkan, Anda dapat telanjang emosi dan isi hati di hadapan pasangan. Mampu menceritakan perasaan-perasaan yang nun jauh ada di lubuk hati. Tidak pake malu. Ceritakan saja. Sementara itu, pasangan DILARANG menghina. Dengarkanlah dia…

Beberapa keuntungan yang didapat:

(1) Alangkah bahagianya jika di hadapan pasangan, kita mendapat penerimaan seutuhnya.

(2) Saling mengerti, ”Kenapa yah…dia berpikir seperti itu, merasa seperti itu? Kedengarannya aneh banget. Tapi dia kan kekasih yang kucintai, aku mau mengenalnya lebih dalam lagi.”

(3) Saling mendoakan, ”Oh, ternyata kelemahannya di situ. Yuk, aku doakan supaya Tuhan menolongmu.”

(4) Saling menolong, ”Saya tahu, jika saya berbuat ini, dia pasti akan susah sekali. Okey saya akan sabar sedikit.”

(5) Bersama-sama bertumbuh menjadi serupa Kristus,

(6) Akhirnya, jadi tambah intim. Suami istri makin lama menikah, makin apet. Makin tidak terpisahkan.

Berlatihlah untuk telanjang emosi dan isi hati di depan pasangan dengan nyaman.

Next, mari kita meninjau sebuah piramid pernikahan.

(bersambung)

Marital Pyramid

Intimacy

Management Conflict

Communication

Personality

Saya menyebut segitiga di atas sebagai Marital Pyramid. Intimasi berada di puncak piramida, bagian terkecil. Menurut teori ini, puncak dari pernikahan adalah tercapainya keintiman suami-isteri.

Di bawah Intimacy ada Management Conflict. Kecakapan seorang memanage konflik, justru membuat pasangan semakin intim. Jika gagal mengatasi konflik dengan baik, tidak dapat naik ke puncak, Intimasi. Karena konflik yang tidak terselesaikan, hubungan suami isteri menjauh. Saat terjadi, walaupun mungkin masih bersama-sama, tapi sesungguhnya sudah tidak ingin berdekatan.

Apa yang menyebabkan seorang cakap atau tidak dalam mengatasi konflik? Nah, di bawah Management Conflict ada yang namanya Communication. Hanya orang yang memiliki Communicating Skills yang dapat mengatasi konflik. Ujung-ujungnya, dapat menikmati intimasi.

Akhirnya, porsi paling besar dan menjadi DASAR Piramida a.k.a bottom line-nya adalah Personality.

Apa sih personality? Personality adalah pola tingkah laku yang konsisten dan proses intrapersonal seseorang. Seperti emosi, motivasi, dan cara berpikir yang mempengaruhi bagaimana orang tersebut bereaksi, termasuk perasaan-perasaan yang membentuk karakter.

Dengan kata lain, ”Kamu itu seperti apa sih?”

Personality sangat menentukan apakah seseorang mampu tidak berkomunikasi dengan pasangan khususnya dan orang lain umumnya.

Dalam pengalaman hidup sehari-hari, kita bertemu dengan berbagai ragam personality. Ada yang ceriwis,  ada yang ceplas-ceplos, ada yang to the point, ada yang pendiam, ada yang muter-muter. Juga ada orang yang ngomongnya selalu mau menang sendiri. Paling sebel ketemu yang begini. Bahkan tersedia juga tipe misterius. Bener-bener enggak ngomong, pokoke Silence is Golden, cenah (baca: katanya).

‘Personality’ membangun bagaimana caranya berkomunikasi. Anehnya, ada orang yang doyan bicara tapi belum tentu cakap mengatasi konflik, bisanya Ambil Langkah Seribu! Sebaliknya, ada orang pendiam, tapi begitu ketemu konflik, cakap dan mau menghadapi sampai selesai.

Untuk mengerek level menuju intimasi, kita harus mempunyai personality yang mendukung. Lapang dada, hati terbuka, tulus, dan jujur.

Personality Penghambat Intimasi

Mengapa ada suami isteri yang sulit intim? Pernahkan Anda melihat suami isteri di  restoran, walau makanan yang dipesan belum datang, mereka hanya diam-diaman dan tidak saling melihat. Apalagi kalau makanan sudah datang, sibuk makan sendiri-sendiri. Oh sepinya dunia ini…

Marital Pyramid menjelaskan masalah terbesar ada di ALAS-nya. Personality (kepribadian) biangnya. Ada kepribadian tertentu yang menghambat komunikasi, akhirnya tidak mencapai intimasi di puncak piramida.

Kepribadian macam apa? Saya tidak membagi menjadi Sanguin, Flegmatik, Kholerik, atau Melankolik. Bukan seperti itu. Tapi suatu bentuk struktur jiwa seseorang yang bisa bermanifestasi di ke-Empat macam kepribadian tersebut.

Mari kita telusuri satu demi satu, sambil ngecek…Aku yang mana ya?

(bersambung)

Pertama, Workaholic Personality. Seorang dengan jiwa yang terlalu mencintai pekerjaan. Umumnya, pria suka sekali bekerja karena orientasi dan goal-nya ditujukan pada pekerjaan dan karier. Orientasi hidupnya jika dipersentase: 60% pekerjaan, 20% isteri dan anak, sisanya 20% untuk hobinya.

Mengapa sampai 60%? Dari pekerjaanlah, seorang pria mendapat penghargaan diri dan disanjung tinggi. Dia membuktikan kemampuan dirinya. Ada harga diri di dalam karier.

Hati-hati, jika memiliki struktur jiwa seperti ini, Anda tidak lagi memiliki ruangan untuk isteri dan anak-anak. Hidup hanya diisi dengan pekerjaan dan pekerjaan lagi. Tidak ada waktu untuk membina keintiman dengan isteri dan anak. Pikiran, perasaan, tenaga dan waktu, semua sudah habis untuk bekerja. Seperti napas tidak sampai ke hidung.

Balik ke Pyramid di atas. Intimacy dibangun oleh kemampuan mengatasi konflik, yang dibangun oleh komunikasi, yang didasarkan kepribadian. Karenanya, terlalu mencintai pekerjaan jadi berbahaya. Bukan hal yang baik.

Hari ini bukan hanya pria saja, wanita juga berkarier. Kebahagiaannya digali dari pekerjaannya. Apalagi kalau suami isteri sama-sama ngantor dari matahari terbit sampai terbenam. Lah, kapan intimnya? Kapan bertemu? Waktu ketemuan sudah cape, pulang malam setiap hari.

Sehingga sukar sekali menjadi Family Man atau Family Woman. Meaning?

Family Man atau Family Woman adalahorang yang kebahagiaannya DIGALI dari keluarga. Sukacitanya memuncak di tengah-tengah keluarga. Ayah, kalau sudah mau pulang kerja, senang bertemu isteri dan anak-anak. Ingin cepet-cepat sampai rumah. Home Sweet Home.

Harap tidak terjadi, suami mau pulang kerja, malah berseru,”Aduh, celaka!” Banyak suami yang senang berlama-lama dulu, malas pulang. Mencari-cari aktivitas yang tidak perlu, makan dulu di kantor atau ke café. Atau sibuk-sibukin diri di gereja. Karena kalau pulang jadi gerah. Ada ”macan” yang mengaum keras sekali!

Suami yang sudah selesai kerja, mau ke café, sekali-kali ajak-ajak dong isteri dan anak-anak. Have fun bersama-sama.

Hari ini kita ada di mana? Apakah Anda pribadi yang gila kerja? Jika demikian sangat sulit membangun kedekatan dengan keluarga. Untuk membangun kedekatan, harus ada wadah. Satu ruangan dalam seminggu…bisa lebih, ciptakan waktu spesial bagi keluarga!

Keluarga sangat membutuhkan kebersamaan. Cobalah mengerti, luangkan satu waktu bersama isteri dan anak. Mari pikirkan: Apa yang kira-kira akan dikatakan mereka di saat kematian kita?

”Ayah adalah seorang pekerja keras, dia selalu pulang malam, bahkan hari liburpun bekerja, tapi… maafkan kami, kami tidak mengenal siapa engkau, Ayah…”

Atau

”Ayah adalah seorang yang penuh kasih. Di tengah kesibukan, selalu memberikan diri saat kami membutuhkannya. Dia seorang yang tegas, tahu bagaimana bersenang-senang bersama kami. Engkau akan selalu ada dalam hati kami. Terima kasih Ayah, Engkau telah mengajarkan kehidupan.”

Yang mana pilihan Anda? Mulailah menentukan dari sekarang, apalagi kalau hari ini hubungan suami isteri terlalu jauh. Usahakanlah lebih mendekat.

Kedua, Instinktual Personality. Pribadi yang sangat diatur oleh insting. Insting adalah respons terhadap stimulus yang ada di sekeliling, di luar diri kita. Insting bekerja tanpa akal sehat.

Jika kita tidak punya kesadaran yang tinggi, insting sangat mudah menguasai diri sehingga tidak bisa berkomunikasi.

Seorang suami sewaktu pulang kerja, senang sekali. Sepanjang perjalanan menyetir mobil, ha-ha-hi-hi sambil mendengarkan musik yang disukai.

Tidak terasa sudah sampai di rumah. Bunyikan klakson Tin Tin! Tin Tin! Biasa istrinya selalu sigap bukakan pintu. Tapi sore itu, apa yang terjadi? Rupanya sang isteri ketiduran. Begitu pulas. Klakson mobil 100 dB saja tak kedengaran. Tidak nongol. Tin Tin satu kali, tidak ada yang buka pintu. ”Waduh, mana sih, lama amat?”

Dahinya mulai berkerenyit. Tin… Tin…. dua kali, tidak nongol juga. Sekarang mulutnya mulai berdecak-decak,”Ck…Ck…Ck…” Tin…. Tin….. yang ketiga, tambah kencang. Sang suami mulai pikir, ”Ah, ini pasti ketiduran lagi, dasar malas!” Mulai marah, dikuasai instingnya. Saat ketemu isteri, heran.. sudah tidak bisa bicara apa-apa. Tidak mampu lagi menyapa dan bersenda gurau, suka citanya lenyap. Yang ada hanyalah gerutuan dan marah-marah.

Masuk rumah tidak mau lihat isterinya tapi nanya dengan ketus, ”Kenapa sih sampai saya harus buka sendiri?”

Isterinya menjawab,” Lho, bukannya tidak mau keluar, tadi saya ketiduran.”

Suaminya balas, ”Tidur melulu, sudah tahu jam segini saya pulang.”

Akhirnya mereka berdiam diri, kalau ngomong ntar ribut lagi.

Ah…Tidak semua hal dalam hidup ini bisa diatur sesuai keinginan kita, bukan?

Isteri memang ketiduran. Lalu kenapa? Mungkin cape. Mengurus rumah seharian, tidak ada yang membantu. Jadi, tidak selalu bisa mengharapkan pasangan kita dalam kondisi ekstra prima.

Orang yang dipengaruhi insting tidak dapat berpikir jernih. Tindakan sesuai instingnya saja.

Kembali kepada piramid tadi. Kepribadian yang dipengaruhi insting. Mempengaruhi caranya berkomunikasi, kecakapan mengatasi konflik dan keintiman. Dalam situasi ini akhirnya mereka tidak bisa intim.

Sampai malam, apa yang terjadi pada sisa hari itu?

”Ya sudah, kamu ini bikin saya kesal.” Sang suami mungkin terus berdiam di dalam kamar, nonton TV diam seribu bahasa. Nila setitik, rusaklah susu sebelanga.

Pada contoh di atas, komunikasi berbenturan dengan insting. Bagaimana menolong diri yang dikuasai insting? Mulailah dari kepekaan. Bertanya pada diri sendiri,”Kenapa yah, kok saya mendadak marah? Apa sih yang membuat saya jadi marah? Apakah hal seperti ini seharusnya membuat saya marah?”

Untuk menjaga supaya insting tidak menguasai, kita harus mengetahui kelemahan pribadi. Mempersiapkan diri dengan berbagai kelengkapan. Contohnya: Kalau saya pulang dan sudah malam, tidak dibukakan pintu. Ya sudah, saya buka sendiri. Memang di gantungan kunci mobil saya ada kunci rumah. Begitu masuk, oh… rupanya lagi mandi pantas ga kedengaran. Yah sudah… santai saja tak usah ngamuk.

Insting jika menguasai, membuat orang sulit ditebak. Apa maunya? Kok mendadak jadi begini? Kok mendadak bisa begitu? Mudah berubah-ubah. Sangat menyusahkan pasangan.

(bersambung)

Ketiga, Perfectionist Personality. Pribadi yang perfeksionis jika digabung dengan insting lebih dahsyat lagi kerusakannya. Perfeksionis itu apa? Ada dua macam:

Yang pertama, menurut standar diriku. Orang lain melihatnya, ah itu tidak ideal. Tapi menurutku, itulah yang ideal. Jadi, segala sesuatu harus sesuai dengan caranya. Misalnya: makan nasi, sopnya harus dipisah. Masuk rumah tidak boleh pakai sepatu. Mandi tidak boleh lama, 5 menit saja. Cenderung mengatur orang dengan standar yang dibuatnya sendiri. Tapi, masih bisa dimengerti.

Macam kedua, terlalu sempurna sampai tidak masuk akal. Misalnya, rumah harus selalu bersih! Debu tidak boleh ada sedikitpun. Ideal sekali, mana mungkin rumah tidak ada debu. Menuntut sepatu harus selalu ada di raknya dan tidak boleh pindah. Miring sedikit ke kanan atau ke kiri, sudah gerutuan. Semua harus mengikuti idealismenya.

Honestly, berdekatan dengan Mr or Mrs. Perfect bikin susah hidup!

Sejak kecil, mungkin dibesarkan dengan tuntutan tinggi, sudah terbiasa menempa diri. Bertemu orang seperti ini, seringkali kita merasa tidak nyaman. Cenderung ingin fixing something. Di rumah, jika ada yang kurang beres pasti diperbaiki. Matanya gatal kalau rumah berantakan.

Akhirnya, mereka sulit menyediakan waktu bercakap-cakap, selalu sibuk sendiri. Baru diajak isterinya ngobrol, eh tidak berapa lama ditinggal. Sudah sibuk lagi memperbaiki ini dan itu.

Seorang ibu di Jakarta menelpon saya,”Aduh….! Saya seeebel deh sama suami saya. Bayangin, saya tidak pernah diajak omong.” Setelah kami bincang-bincang, ternyata ibu ini yang salah. Justru dia yang super sibuk di rumah sampai sang suami bosan mengajak ngobrol. Isteri kerjanya muter-muter persis setrikaan.

Lalu sang isteri berkata, ”Lha iya lah… kan rumah ga bisa berantakan dong! Nanti kalau barang pindah tempat, kan saya musti taruh di tempatnya lagi. Kalau perabotan berdebu kan saya musti lap lagi.”

Saya katakan, ”Ibu coba belajar duduk dengan suami. Nanti kalau suami ibu sedang santai di depan dan sendirian, coba deh sediakan teh, kopi dan makanan kecil. Lalu belajarlah duduk sebelah dia.”

Sang ibu malah merespon, ”Tapi kan….saya musti beresin ini, beresin itu. Mana sempat untuk duduk-duduk saja.” Memang sulit kalau kepribadian perfeksionis sudah menguasai. Pantesan suaminya jadi malas bicara…

Kelemahan perfeksionis tidak bisa melepas. Belajarlah Let It and Let Go! Biarkanlah sementara waktu semuanya berantakan, tak apa-apa toh. Jelas tidak ada yang jatuh sakit karena berantakan sedikit.

Apa yang terpenting di rumah? Pelihara barang-barang atau memelihara pasangan? Kalau terjebak dalam kepribadian yang selalu ingin sempurna, akhirnya energi habis. Kapan intimasinya? Terus memperbaiki ini dan itu. Sementara suami sedang duduk, mungkin sang isteri menyediakan teh. Habis itu ditinggal…

Selalu ingin ‘fixing something’, seperti tidak punya waktu dengan kekasihnya. Padahal dulu waktu pacaran intim sekali. Dulu tidak ada yang diberesin, kalau ketemu sudah rapi dan sudah bagus segala sesuatunya. Sekarang, rumah tangga selalu ada kewajibannya. Ingat, kita juga harus mencoba untuk memberikan satu ruangan utama dalam diri kita bagi sang kekasih.

Keempat, Preoccupied Personality. Pribadi yang sibuk dan fokus dengan pikirannya sendiri. Dia memiliki jalan pertimbangan yang lain, tapi tidak pernah mengutarakan.

Dalam keheningan dan keramaian selalu sibuk dengan pikirannya. Waktu diajak bicara sering banget tidak nyambung. Berada dalam dunia dan mencipta alamnya sendiri. Waktu kita ajak bicara, aneh sekali dia jawab,”Iya…Iya…”, tapi sesungguhnya belum paham.

Hobinya merenung. Aneh, karena asyik dengan pikiran dan dunianya sendiri, dia berharap dan menganggap pasangan bisa menentukan segala sesuatu baginya. Jika keputusan yang diambil tidak sesuai dengan kemauan, dia marah. Merasa tidak dimengerti.

Hati-hati….Kita harus belajar berkomunikasi. Menyampaikan apa yang sebenarnya menjadi keinginan kita pribadi, jangan asyik dengan pikiran sendiri.

Preoccupied Personality memang seringkali berasumsi orang lain mengerti apa yang dia mau. Menuntut,”Kita kan sudah menikah sekian tahun, kamu harusnya tahu apa yang ada dalam pikiranku.” Pasangannya Dukun kaleee atau pembaca pikiran seperti dalam film-film X-Men dan serial Heroes? Padahal, dalam laut boleh diduga, dalam hati sopo yang tahu?

Kelima, Insecure Personality. Pribadi yang selalu merasa tidak aman, senantiasa gelisah. Akibatnya? Dia tak pernah tidak merasa kurang. Kurang dan kurang lagi. Selalu merasa inginnya dipenuhi terus.

Kamu tolong aku dong. Kamu mengerti aku dong! Kamu bikin aku bahagia dong!! Kita kan sudah menikah, kamu harus menuruti apa yang aku mau dong!!! Lama-lama jadi biji kedondong. Tajem-tajem semua. Ibarat menegakkan benang basah, sukarnya minta ampun.

Pribadi insecure pelan-pelan jadi dominan. Karena memaksa pasangannya untuk melakukan apa yang dia suruh. Kalau tidak dipenuhi keinginannya, pasti merajuk. Masuk kamar kunci pintu dan menangis. Mesti dibaikin. Sekali dua kali ya tidak apa-apa, kalau tiap hari? Pribadi insecure rentan merusak rumah tangga.

Orang dominan justru lahir dari rasa insecure.  Tidak konten dengan dirinya. Maunya mengontrol situasi, akhirnya jadi berkuasa. Tidak putus-putusnya menuntut pasangan. Kamu mesti begini, kamu mesti begitu. Akhirnya, keakraban tidak terbentuk.  Mana enak hidup dengan orang yang selalu menuntut? Pelan-pelan kita akan menjauhkan diri dari orang seperti ini.

Terakhir, dalam kaitan komunikasi dan intimasi suami isteri. Kita akan menyoroti kenapa komunikasi tidak terbangun untuk mencapai intimasi. Apa sebabnya?

Secara normal setelah menikah, biasanya tahun pertama anak sudah lahir. Rupanya, intimasi mengecil sejak hadir si kecil. Tentu kita tidak mau menyalahkan anak. Mereka adalah anugerah yang besar. Menyiasatinya harus dengan segerobak ide.

Sejujurnya, kalau tidak hati-hati, kehadiran anak akan memperkecil intimasi suami isteri. Membangun intimasi, memelihara komunikasi dan mengatasi kebuntuan seringkali membutuhkan waktu yang tenang dan fisik yang prima. Kehadiran anak membuang semua itu.

Setelah anak pertama lahir, kami pernah mengalami ribut dan benar-benar membutuhkan waktu guna menyelesaikannya. Sampai berjam-jam kami harus bicara dari hati ke hati untuk mengatasi kebuntuan (dead lock) supaya tidak timbul saling curiga. Membicarakan apa yang harus saya lakukan dan Liana lakukan jika suatu ketika muncul situasi yang sama.

Kami merasakan Jostein kecil mesti disediakan makan, minta ganti popok. Menuntut banyak perhatian, emosi dan pikiran kami. Terbukti sulit bagi kami menyediakan waktu yang tenang untuk berkomunikasi, apalagi mengatasi dead lock.

Di tengah waktu yang terus berjalan. Apa yang terjadi? Jika mengupayakan sebisa mungkin, agar tidak usah ada masalah, malah menghindari bicara. Toh, kalau ngomong malah buntu dan tidak punya waktu menyelesaikannya. Pelan-pelan, kesulitan ini membuat dinding pemisah suami isteri semakin tinggi. Jika tidak hati-hati, tentu membuat tidak nyaman lagi satu dengan lain.

Ketenangan bukan berarti tanpa masalah. Masalah akan bertamu tiap hari, kadang-kadang pake nginap segala. Jelas masalah ada, cuma disimpan saja baik-baik. Lama-lama, sesuai piramida tadi, intimasi mengecil, bahkan menghilang.

Kita telah membicarakan satu hal yang penting, adanya keterkaitan antara komunikasi suami isteri dengan keintiman. Apakah hari ini Anda masih bisa dekat dengan isteri atau suami Anda?

Apakah Anda masih bisa menikmati keberadaan berdua?

Setelah kompak mengusir masalah, kami sekarang sangat menikmati saat berduaan. Waktu anak-anak sudah tidur, berbicara berdua, membaca berdua, makan berdua, nonton berdua, berdoa berdua dan berdua-berdua lainnya. Akhirnya bersatu.

Kami rindu Anda cakap menikmati keberadaan bersama orang yang dikasihi. Tidak menghabiskan waktunya hanya untuk hal-hal yang berada di luar diri.

Happy Communication!


[1] Kejadian 2: 23

[2] Kejadian 3: 3-13

[3] Yakobus 1:19-20

[4] 1 Petrus 3: 7

[5] Amsal 21:23

Post Author: admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *