Bab 7
Emotional Maturity
Kematangan Emosi
Apakah kematangan atau kedewasaan Anda bertambah sesuai umur Anda? Apakah Anda bertumbuh tambah bijaksana dan dewasa setiap tahun atau hanya menjalani hidup pada usia yang sama bertahun–tahun?
Jika bertumbuh tambah bijaksana dan dewasa berarti growing up (bertambah dewasa). Jika Anda menjalani hidup pada usia yang sama bertahun-tahun namanya getting older (bertambah tua).
Umurnya sih tambah, tapi tingkah laku, sikap atau respons masih seperti anak kecil. Katakanlah umur sudah 25 tahun, tapi sikapnya persis anak 5 tahun. Inilah getting older without growing up. Pernahkah Anda berjumpa dengan pribadi seperti ini?
1. Getting Old or Growing Up?
Ada enam cara mengukur untuk mengetahui getting older atau growing up:
- Chronological Age. Umur.
Ukurannya adalah waktu yang dikronologikan sejak seorang lahir sampai hari ini. Jika seseorang ditanya, ”Berapa umurmu?” ”Saya 5 tahun.” Oh.. balita (Bawah Lima Tahun), ”Saya 17 tahun,” jelas ini remaja. ”Saya 25 tahun,” pasti sudah dewasa muda.
Deret umur adalah cara paling sederhana untuk mengetahui kedewasaan seseorang. Makin banyak tahun, umurnya makin bertambah. Waktu berulang tahun, kita biasa menyanyikan lagu,”Panjang umurnya… Panjang umurnya…” Salah! Sebenarnya justru umur makin pendek karena saat ulang tahun, makin mendekati pintu maut.
- Physiological Age. Kematangan Fisik.
Diukur berdasarkan kemampuan koordinasi tubuh guna merespons situasi. Sangat bersangkut paut dengan umur seseorang. Paling kelihatan bayi kecil. Bayi berumur satu bulan dengan bayi tiga bulan beda sekali. Mungkin ukuran dan beratnya sama tapi kemampuan fisik tidak serupa. Bayi tiga bulan sudah bisa berguling, mengangkat kepala. Bayi satu bulan tidak dapat berbuat apa-apa. Rebah saja di ranjang.
Inilah kematangan fisik. Waktu menyeberang jalan, koordinasi mata, telinga, tubuh, kaki dan tangan orang dewasa jauh lebih baik dibanding anak kecil. Orang dewasa melihat dulu ke kiri ke kanan, baru menyeberang. Lain anak kecil, karena belum sempurna, hanya melihat satu arah, lalu lari secepatnya, eh tahu-tahu jatuh…, makanya orang dewasa menuntun waktu menyeberang jalan.
3. Intellectual Age. Kematangan Intelektual.
Raymond Cattell dan John Horn membagi intelligence menjadi dua kategori:
- Fluid Intelligence
Fluid Intelligence dikenal dengan nama IQ. Sebelum sekolah, biasanya anak-anak dites IQ. Ketika saya masih TK, sudah juga. Orang rata-rata memiliki IQ sekitar 75-130. Orang yang tidak mengalami kematangan intelektual, IQnya di bawah rata-rata atau dibawah 70. Ada juga yang highly intellectual, di atas 130 disebut Mr. / Ms. Jenius. IQ merupakan Pure Ability. Kemampuan dasar yang belum diasah (un-exercized ability). Dibawa sejak lahir dan bisa mengalami perubahan.
Faktor penyebab perubahan IQ, menurut riset di Berkeley tahun 1981:
a. Menikah dengan pasangan yang IQ-nya lebih tinggi 10 poin, maka dalam waktu 20-30 tahun, IQ mengalami peningkatan. Sebaliknya, mendapat pasangan yang IQ-nya jauh di bawah. Wah, Anda bisa tebak deh apa jadinya. IQ ikut-ikutan turun!
b. Minuman keras. Banyak minum alkohol bikin IQ Anda tiarap.
c. Terkena penyakit atau mengalami pengalaman yang melumpuhkan, menyakitkan, dan membuat tidak berdaya.
- Crystallized Intelligence
Disebut juga Exersized Ability. Kemampuan dan pengetahuan yang dipelajari. Perkembangannya sangat tergantung pendidikan dan pengalaman. Kemampuan ini semakin berkembang seiring dengan kedewasaan usia seseorang, terlebih jika diasah.
”Dulu, saya hampir tidak pernah berpikir tentang hidup. Apa yang terjadi, ya terjadilah. Hidup dijalani saja hari demi hari. Sebenarnya, kalau saja setiap menutup hari saya memikirkan apa yang terjadi hari itu, pasti banyak pengalaman yang dapat dikristalisasikan, dipelajari, dan disharingkan.” ujar Liana.
Dia menyatakan ini setelah melihat saya terlalu serius dengan hidup.
”Semenjak serius memikirkan hidup, saya belajar tidak mengulang kesalahan dan mempertahankan yang baik. Sayang, kalau hidup tidak dipikirkan, banyak hal yang lewat dan terlupakan,” tambahnya.
Apakah Anda masih mengingat pelajaran yang dulu dipelajari di sekolah? Apakah Anda masih mengingat masa kecil sampai remaja? Semakin banyak yang Anda ingat dan pikirkan, semakin tinggi crystallized intelligence Anda.
- Social Age. Kematangan Sosial.
Diukur berdasarkan kemampuan interaksi dengan orang lain. Seorang disebut dewasa jikalau, tahu bagaimana bergaul dengan baik, minta maaf kalau salah, punya perhatian terhadap lingkungan sosialnya. Pada umumnya setiap orang bisa, tapi ada juga yang tidak.
Orang yang matang sosialnya pasti punya banyak teman. Mereka merasa asyik bergaul dengannya. Enak diajak bicara. Tidak menang sendiri. Kalau menemukan kesalahan temannya, tidak judgemental (menghakimi). Bisa menerima masukan dari teman-teman tanpa negative feeling. Juga tidak memancarkan ’hawa’ negatif.
Kala mencapai puncak kematangan sosial, pastilah temannya tersebar di mana-mana dan berasal dari kalangan beragam.
Yang sedih, saya pernah bertemu anak muda yang hobi sendirian, kelihatan tak punya teman. Waktu diajak bicara, aneh sekali jawabannya hanya satu dua patah kata saja. Kepalanya selalu tertunduk. Matanya tidak memandang orang yang mengajak bicara, menunjukkan sikap tidak perduli.
Orang yang tidak punya kematangan sosial cuek lingkungan sekitar. Dia asyik dalam dunianya sendiri.
- Emotional Age. Kematangan Emosi.
Kita akan membahas panjang lebar kematangan yang satu ini. Emosi merupakan tanggapan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi silih berganti. Kematangan emosi diukur dari kecakapan mengekspresikan emosi dengan sehat.
Ekspresi emosi yang sehat berkaitan dengan tiga hal (dapat diilustrasikan seperti penyajian makanan di meja makan):
(a) Richness, kemampuan mengekspresikan berbagai macam emosi, negatif maupun positif. Emosi negatif antara lain: takut, kuatir, sedih, gelisah, malu, iri, marah; Emosi positif: senang, damai, tenang, bangga (variatif makanannya).
(b) Fit, kemampuan mengekspresikan emosi secara tepat sesuai situasi. Tidak berlebihan ataupun kekurangan (pas porsinya).
(c) Control, kemampuan mengontrol diri dan memilih emosi yang tepat untuk diekspresikan (penyajian yang indah).
Orang yang emosinya matang terlihat stabil. Dia bisa marah, kadang juga sedih, tergantung situasi yang dihadapi, tetapi semua undercontrol. Bukan meledak-ledak, moody dan dikuasai instink. Sesungguhnya, dialah yang menguasai emosi sehingga tindakannya dapat dipertanggung jawabkan.
Seorang yang matang emosinya akan memberi pengaruh membangun (condusive) bagi perkembangan semua anggota keluarga, pasangan maupun anak-anak. Layaknya penyediaan makanan 4 sehat 5 sempurna, penyediaan emosi yang sehat dengan menu Richness, Fit and Control pasti membuat semua anggota keluarga stabil emosinya.
Tapi ada orang yang tidak matang emosi, kenapa?
Orang yang tidak matang emosinya berarti kekurangan makanan emosi yang sehat dari keluarga. Kematangan emosi sangat dipengaruhi faktor: pola asuh, cara orang tuanya berinteraksi, dan budaya tempat dia bertumbuh.
Ciri-ciri Ketidakmatangan Emosi
- They have left home, but home not left them. Mereka telah meninggalkan rumah, tapi rumah tidak meninggalkan mereka. Ada keterikatan yang kuat dengan orang tua.
Lalu apa yang terjadi dalam situasi sehari-hari? Mudah sekali membandingkan pasangan dengan orang tuanya. Orang tuanya yang mengendalikan pernikahan mereka.
Misalnya, seorang isteri curhat, ”Suami saya, setiap malam pasti ngumpul di rumah mamanya. Mamanya suruh dia ini itu. Enggak ada waktu untuk saya!”
Kasus lainnya, isteri dulunya seorang anak yang dekat dengan papanya. Sering membandingkan suami vs. papanya. Waktu suami pulang kerja dan bercerita rupa-rupa kesulitan di tempat pekerjaannya. Sang isteri mengatakan, ”Papa saya dulu kok kuat, tidak secengeng kamu”, padahal sang isteri tidak tahu, pada awal-awal pernikahan orang tuanya, papanya juga banyak share yang bikin mumet. Sekarang yang dia lihat toh papa yang jauh lebih matang karena sukses melewati masa-masa sulit.
Apa salahnya jika suaminya share kesulitan pada isterinya?
Tapi aneh tapi nyata, orang yang emosinya tidak matang memang sukar melepaskan diri dari keinginan membanding-bandingkan masa lalu atau orang lain.
Ini pun terjadi di awal pernikahan kami. Saya ingat soal makanan. Saya pernah protes kepada Liana, ”Kenapa tidak masak seperti mama saya?” Kok masakannya pu hau ce (tidak enak)?” Liana sampai sakit hati mendengarnya. Dari sakit hati sampai mogok masak di rumah. Pikirnya,” Awas kamu, enggak aku kasih makan lagi, baru tahu rasa. Udah cape-cape bukannya dipuji, malah dibanding-bandingin!”
Tetapi Puji Tuhan! Melalui proses, lama-lama berubah ke arah yang lebih baik, saya mulai mencoba rasa baru yang dibuat. Liana juga tidak gampang kecewa kalau makanan hasil percobaannya tidak berhasil. Terus masak dan masak terus.
2. Thinking of getting rather than giving. Lebih mau menerima, dan tidak pernah memberi. Selalu berpikir, ”Apa yang bisa aku dapat darinya?” ”Kamu harus bisa membahagiakan saya!” Selalu menuntut, hanya mau mengambil keuntungan dari orang lain.
Ada cerita seorang anak yang terkenal pelit. Teman-temannya sebenarnya sudah anti kepada dia, tapi ada beberapa teman yang kasihan juga. ”Sudahlah tidak apa-apa, kita ajakin saja. Habis dia mau berteman sama siapa lagi?”
Kenapa terkenal pelit? Kalau sudah pergi makan bersama-sama, selalu maunya dibayarin. Dia diam saja kayak orang bego waktu teman-temannya bayar, akhirnya semua patungan bayarin dia. Dan ini sudah terjadi beberapa kali.
Suatu ketika dia mendengarkan kotbah: Lebih baik memberi daripada menerima! Wah indah juga ya. Kotbah ini juga didengar teman-temannya. Setelah kebaktian usai, tahu-tahu si Pelit berkata, ”Hai teman-teman, hari ini saya ingin memberi kalian sesuatu. Ayo kita pergi ke Mall.” Wah, semua temannya senang sekali! Si Pelit sudah dengar kotbah, pasti bertobat dan berubah. Tiba di Mall, mereka mengantri makanan di Food Court. Akhirnya tiba saat membayar, mereka pandang-pandangan menunggu si Pelit action. Si Pelit berkata, ”Hari ini saya ingin memberi! Saya ingin memberi kalian kesempatan untuk mentraktir saya.” Temannya melongo semua. Dasar pelit, tetap pelit! Jadi lebih baik memberi daripada menerima tapi ujung-ujungnya tetap saja menuntut dibayarin.
3. Child-like dependency. Ketergantungan seperti anak–anak. Maunya diperhatikan, dilindungi dan dibahagiakan. Tidak punya modal. Kalau mau sesuatu modalnya berteriak, menuntut, dan bicaranya diulang-ulang. Maunya dilayani seperti raja. Ada orang-orang yang telah menikah sikapnya begini.
Jika ingin sesuatu harus dapat. Seperti anak kecil, dia terus didorong keinginan menguasai. Tak bisa berfungsi sebagaimana harusnya. Di rumah yang dibicarakan barang itu terus, jadi uring-uringan gak bisa melayani suami dan anak-anaknya. Sampai dapat barulah tenang.
Pernah di supermarket, saya memperhatikan ada anak kecil yang ngambek. Merengek-rengek, ”Mau permen…mau permen….” Mamanya bilang,”Beli susu aja ya? Nanti kalau makan permen, kamu batuk!” Wah, anak itu tidak mau ngerti, sepanjang jalan, kontinu merengeknya. Anak memang sukar menguasai emosinya.
Persis contoh tadi, orang dewasa yang tidak cakap menguasai emosinya, secara chronological mungkin sudah berumur 25 tahun, tapi emosinya masih lima (5) tahun.
4. Showing poor impulse control. Tidak dapat mengontrol emosi. Kalau marah, berlebih-lebihan sampai kelewatan dan menyakitkan hati. Tidak bisa mengendalikan diri. Kalau begini, sangat sulit membedakan: Ini anak Tuhan atau bukan? Hari Minggu dia ke gereja, tetapi hari lain saat marah, tidak kuasa mengontrol dirinya. Barang-barang di dekatnya akan dilempar, pintu akan dipukul sampai jebol, sampai barang pecah belah dibelahin. Totally lossed control.
5. Self-centeredness. Living his own life. Hidup semaunya sendiri.
Tidak memikirkan pasangannya. Pokoknya apa yang kumau harus kudapat. Aku hidup untuk diriku sendiri, kamu harus melayani aku.
6. Lack of sense of responsibility. Tanggung jawab yang sangat kecil.
Kalau dipesan sesuatu akan menjawab,”Ya…Ya…” Tapi tidak dilakukan. Tidak punya tanggung jawab. Misalnya, seorang suami pesan isterinya, ”Say, nanti siang aku akan pulang makan, tolong pesankan makanan yang aku suka.” Karena tanggung jawab isteri kecil, waktu suaminya pulang dia hanya katakan, ”Oh Iya lupa.” Tanpa penyesalan. Tak peduli, dan tidak merasa perlu melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati suami.
Pengaruh Emosi Dalam Kehidupan
(1) Dalam hal keuangan.
Kalau emosinya matang, cakap memilah mana kebutuhan mana keinginan. Bertanggung jawab dalam pemakaian keuangan. Tidak besar pasak daripada tiang.
Sebaliknya, orang yang tidak matang ketika melihat barang bagus dan disuka, pasti langsung beli. Tidak pikir panjang, apakah setelah beli barang itu… masih cukup tidak keuangan untuk sisa bulan ini? Apakah barang itu dia perlukan atau tidak? Instink menguasai.
Emosi yang tidak matang menyebabkan seseorang memakai uang tanpa perhitungan yang benar. Karena dikuasai emosi, dia tidak lagi dapat membedakan keinginan dan kebutuhan. Kalaupun mampu, dia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak membeli barang yang disukai.
(2) Cara mengekspresikan emosi.
Orang yang tidak matang emosi juga bisa terlihat dari miskinnya emosi. Hanya dapat mengekspresikan salah satu emosi saja dalam hidupnya. Saat kuatir, yang dia tunjukkan adalah kemarahan; saat takut, marah juga; saat ketiban rejeki nomplok aneh… juga tidak bisa senang, eh eh besok marah lagi. Marah dan marah saja yang dia tahu, tidak ada yang lain.
Mereka sering terlihat labil. Mood menguasai sikap dan tindakannya. Tidak ada angin, tidak ada badai, hal kecil saja membuat dia marah luar biasa. Sebaliknya kalau mood-nya senang, hal besarpun tidak jadi masalah. Dia tenang-tenang saja. Aneh memang! Susah sekali dimengerti (unpredictable). Emosilah Sang Penguasa.
Orang seperti ini pasti membingungkan anak–anak. Kalau mood papa sedang baik, anak-anak boleh nonton sampai malam. Kalau sedang jelek, jam delapan semua harus masuk kamar dan tidur! Seluruh keluarga bingung karena tidak ada peraturan yang ditegakkan. Disiplin sulit dijalankan karena dipengaruhi emosi yang tidak stabil.
Mereka juga sulit membina relasi jangka panjang. Biasanya tidak cakap membangun intimasi dengan orang-orang terdekat. Bersamanya rasa tidak aman. Tahu-tahu kena semprot, dimaki tanpa sebab.
Sering-sering saya dengar cerita begini, seorang isteri lagi kesal karena anaknya disuapin lama sekali. Tiba-tiba,”Tin…Tin…” Suara klakson mobil menyalak kencang. Suaminya pulang. Terpaksa keluar bukakan pintu. Begitu suaminya keluar dari mobil langsung dimarahin, ” Lain kali buka aja pintunya sendiri! Pake klakson-klakson segala! Ngak tau ya aku sibuk!” cetusnya dengan muka garang. Habislah sang suami. Baru pulang, tiada hujan tiada badai langsung disemprot air comberan.
(3) Kemampuan mengatasi konflik.
Dengan kematangan emosi terbatas – begitu terjadi konflik, biasanya jadi pencinta damai (baca: menghindar). Tidak sanggup mengatasi konflik. Mudah stress, dan putus harapan, tidak mengerti apa yang terjadi dalam dirinya. Kalau ditanya kenapa? Tidak mudah baginya menjelaskan. Tidak berdaya. Masalahnya jika sebuah konflik dihindari dan tidak diselesaikan, pastilah berakumulasi. Pasangan jadi apatis. Tidak lagi berharap hal-hal baik masih bisa terjadi dalam kehidupan pernikahan mereka.
(4) Cara memandang realita dunia.
Biasanya tidak mampu menghadapi realita dengan baik. Dia bergerak dalam dunianya sendiri bagai katak dalam tempurung. Dikala harus berhadapan dengan dunia nyata, merasa bingung harus bagaimana. Jika seorang isteri, mungkin hanya bisa menangis dan menangis. Tidak mahir memikirkan solusi yang baik untuk menyelesaikan. Tidak putus-putusnya tenggelam dalam lembah air mata. Akhirnya, frustasi datang dan pergi.
Jika Anda merasa, ” Kok mirip aku ya?” Tapi aku mau berubah. Bisa tidak? So pasti bisa. Kematangan berikut, menjadi jalan keluarnya.
- Spiritual Age. Kematangan Rohani.
Merupakan ukuran terpenting dan mempengaruhi ke-lima pengukuran sebelumnya. Apa itu kematangan rohani?
Kematangan rohani diukur dari hubungannya dengan Tuhan. Dapat dikatakan sebagai Identitas Rohani (Spiritual ID).
Spiritual ID
Spiritual ID sangat mempengaruhi kematangan sosial, emosi, dan intelektual.
Spiritual ID sangat penting, karena di mata Tuhan hanya ada dua jenis orang. Pertama, orang yang tidak mengalami keselamatan dari Tuhan Yesus.
Kedua, orang yang mengalami penebusan Tuhan Yesus sehingga seluruh dirinya diperbaiki, diperbaharui dan dipulihkan melalui kematian-Nya di atas kayu salib.
Mereka yang tidak mengalami penebusan memiliki Spiritual ID yang sangat buruk dan gelap. Dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Apa yang ada di hati itulah yang keluar melalui sikap dan tindakannya.
Hanya orang yang telah ditebus memiliki spiritual ID yang baru melalui karya Roh Kudus. Roh Kudus berdiam dalam diri orang yang menerima Kristus dan membersihkan hatinya dari dosa dan memperbaharui seluruh dimensi kehidupan. Cara berpikir, emosi dan cara berelasinya diurapi hingga kehidupannya berbuah lebat dan menjadi berkat.
Spiritual ID sangat menentukan bagaimana menghadapi realita kehidupan. Menentukan values (nilai–nilai) yang harus dipegang misalnya: Apakah boleh membohongi suami? Apakah boleh selingkuh sekali-sekali?
Orang dunia yang tidak mengenal Kristus memiliki aturan dan nilai-nilai menurut dirinya sendiri. Mereka mengikuti keinginan daging dan mengumbar hawa nafsu. Dalam hatinya berkata: ”Okey saja berzinah. Okey saja punya isteri lebih dari satu. Okey saja berselingkuh. Okey saja menikmati seks bebas, Tidak apa-apa kok.”
Apa yang mendasari tingkah laku mereka? Motivasi tanpa Tuhan muncul dalam bentuk tingkah laku, yang saya sebut Actual Sin (melakukan semua yang jahat). Orang berdosa dan tidak mengalami penebusan Kristus, langgeng berbuat dosa sepanjang hidupnya.
Hati nurani beku. Berbuat dosa tapi tak merasa bersalah. Sehari berdosa 10 kali, 30 hari sudah 300 kali, setahun 3,600 kali, 70 tahun 252,000 kali! Dosa terus bertambah banyak menumpuk sesuai pertambahan umur (Accumulated Sin).
Pada saat umur bertambah, dosanya juga bertambah. Kenapa? Karena intelektual bertambah, kejahatan semakin sistematis dan canggih. Kematangan emosinya bertambah maka makin berumur, makin piawai dalam mengelabui orang, tambah pintar menyimpan kejahatan tetapi tampil seperti orang baik. Dengan pertambahan umur, apa yang mereka perbuat makin jahat dan bertambah jahat. Jelas, manusia memerlukan penebusan Kristus.
Orang yang telah menerima keselamatan seyogyanya mengikuti apa yang Tuhan mau, menuruti aturan dan nilai-nilai yang Tuhan tetapkan. Apa yang Tuhan rancang adalah yang terbaik bagi setiap orang yang mengasihi-Nya.
Tiga Ciri Kematangan Rohani
Untuk itu, kita harus memiliki tiga ciri:
- Teachable Spirit. Roh yang dapat diajar oleh kebenaran.
Seorang yang memiliki teachable spirit adalah orang yang gampang dikasih tahu. Tidak bebal. Sejujurnya, saya paling sebal kalau harus berhadapan dengan orang bebal. Caaaapeeee banget. Dibilangin berkali-kali, juga tak berubah. ”Aku memang kayak gini, so what?” Ah, kacau banget! Anda yang pernah mengalami pasti tahu rasanya. Orang model begini so pasti susah maju. Orang yang telah menerima keselamatan, harusnya gampang diajar Tuhan.
Waktu Tuhan Yesus berkata untuk memberikan pengampunan 70 kali 7 kali, orang yang memiliki teachable spirit mau mencoba menginternalisasi apa yang dikatakan Tuhan. Dia mulai berpikir, ”Oh… ya berarti jika saya disakiti orang, saya juga harus bisa mengampuni dia dong.” ”Walaupun suami saya menyebalkan dan menyakiti hati, saya mau mencoba mengampuni dia sampai tuntas, tas dan tas seperti Tuhan telah mengampuni saya.”
Pada saat pasangan berkata, ”Kamu peragu!” Bagaimana respon kita? Apakah kita responi dengan kemarahan juga? Tidak dong, orang yang memiliki teachable spirit dapat melakukan self reflection. Akhirnya berdoa, ”Oh Tuhan…Kenapa ya aku sering ragu–ragu? Sebagai kepala keluarga, seharusnya aku menjadi orang yang tegas, bisa mengambil keputusan. Bagaimana supaya aku tidak lagi peragu. Tuhan, tolonglah aku. Bentuklah aku menjadi seorang yang berani mengambil keputusan.”
Dan lihatlah, Tuhan dengan Roh-nya yang kudus pasti menolong Anda secara luar biasa! Saya percaya hal itu bisa terjadi. Anda juga kan!
- Meninggalkan sikap kanak–kanak
”Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.”
Perhatikan kata: meninggalkan, seringkali kita tetap memiliki sifat kekanak-kanakan, satu sifat yang bikin orang lain susah. Bicaranya seperti anak-anak, tidak mikirin perasaan orang. Saat teduh harus diingetin terus. Maunya ditolongin terus. Anak kecil centernya diri sendiri, orang lain harus mengikuti kemauannya.
Putra sulung kami Jostein waktu berusia empat tahun pernah kami ajak jalan-jalan ke Mall, kalau jalan tuh mau-maunya sendiri. Waktu kami beri tahu karena bahaya, eh malah tidak mau dengar. Mungkin dia pikir, ”Tidak apa-apa, kok!” Yah, begitulah anak-anak.
Apakah Anda sebagai orang dewasa juga begitu? Tuhan bilang, ”Jangan!” eh, malah jawab, ”Tidak apa-apa, kok!” Mari kita buang childish kita.
“Life is ten percent what happened to me, ninety percent is how we react to it.” Hidup ditentukan 10% dari apa yang terjadi pada diri kita, kejadian yang kita suka dan tidak kita sukai. Misalnya: sakit, bencana alam. Tapi 90% nya adalah cara kita berespon terhadap kejadian itu. Apakah respon anak-anak yang kita berikan atau respon orang yang matang dan takut akan Tuhan?
- Dapat membedakan baik dan jahat.
”Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik daripada yang jahat.”
Orang yang rohaninya matang dapat membedakan mana yang baik, mana yang jahat. Luar biasa Roh Kudus membimbing hidup kita. Jikalau betul matang, kita sangat peka terhadap kehadiran Tuhan. Kesadaran akan dosa dianugerahi-Nya. Ketika mau berbuat hal-hal yang tidak baik, kita merasa dalam hati, ”Ini salah, ini tidak benar!”
MASUKKAN BOX
Berniat Jahat
”Hari itu, aku merasa lelah sekali. Rutinitas rumah tangga dengan tiga anak tanpa pembantu. Astaga, dari pagi sudah harus menyiapkan sarapan. Mengantar Jostein sekolah, membereskan rumah sambil harus mengurus dua anak lainnya, belanja sayur, menyiapkan masakan untuk makan siang, cuci dan gosok baju….dan rentetan list panjang yang tiada habis-habisnya,” gerutu Liana.
Siangnya, suami telepon, ”Na, aku tidak pulang makan ya. Ntar tolong jemput Jostein di sekolah. Aku mau jalan-jalan dulu dengan temanku!” Baik sih dia telpon kasih tahu. But, aku merasa kesel buanget! ”Enak aja dia jalan-jalan. Ajak aku pergi kek! Udah cape-cape siapin makan siang, eh malah makan diluar. Nambahin kerjaan lagi, musti jemput anak segala. Emangnya aku nganggur kali!” ”Ah, aku mau pergi aja, cuti dari semua kesibukan. Bawa anak-anak ke rumah mami, tinggalin dia sendirian, biar tahu rasa!” Pikirku kemudian.
Saat itu, teringatlah firman Tuhan, Janganlah merencanakan kejahatan terhadap sesamamu, sedangkan tanpa curiga ia tinggal bersama-sama dengan engkau. Oh my God, what am I thinking? What have I done? Langsung aku menyesal akan segala rencanaku. Suamiku tidak tahu. Tuhan tahu. Aku tahu. Aku bisa membedakan pikiranku yang baik dan yang jahat. Bagianku adalah melakukan apa yang baik, yang Tuhan mau.
BOX SELESAI
Pengaruh Spiritual ID Terhadap Kematangan Lainnya
Seorang yang telah ditebus, menerima keselamatan dari Kristus dan mengizinkan Roh Kudus berkarya dalam diri akan mengangkat level kematangan diri. Maksudnya?
Emotional Age: Jika seorang tidak dewasa secara emosi, tapi mendekatkan diri pada Tuhan. Akan memiliki Spiritual ID yang dikendalikan Roh Kudus. Dalam ketaatannya akan suara Tuhan, dia pasti berubah. Mengalami kemajuan yang progresif dalam hubungannya dengan pasangan dan anak-anak.
Orang yang tidak matang secara emosi, dikuasai emosinya; tetapi orang yang sudah ditebus menyerahkan emosinya di bawah pimpinan Roh Kudus untuk dibersihkan dan dipakai-Nya. Firman menguasai rasio dan emosi.
Demikian halnya kematangan sosial dan intelektual.
Social Age: Orang yang telah ditebus, secara sosial niscaya berkembang. Kemampuannya berinteraksi dengan orang lain diberikan Tuhan. Mengapa tidak bisa berinteraksi dengan orang lain? Karena terlalu pusing dan sibuk dengan dirinya sendiri.
Orang yang mau taat, akan mentaati Firman Tuhan, ”Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya.” Tidak lagi “kuper”, tapi mulai memperhatikan dan memikirkan kesejahteraan orang lain.
Intellectual Age: Secara intelektual, hikmat Tuhan membuat orang ini jauh lebih pandai dari apa yang dapat manusia pikirkan. Seorang yang “berjalan dengan Tuhan, pasti memasuki dimensi kehidupan yang sangat kaya dengan pengalaman baru.
Sudah terbukti, orang yang kaya pengalaman hidupnya mempunyai intelegensia lebih tinggi daripada orang yang lahir dengan IQ tinggi, tapi miskin pengalaman.
REFLEKSI: Apakah Anda getting older atau growing up? Kalau belum growing up maka harus berjuang untuk dekat dan intim dengan Tuhan yang kuasa mengubah. Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui! Jangan cuma umur saja yang bertambah, tapi tumbuhlah kian matang, berkualitas dan makin serupa Kristus. Dengan demikian, Anda pasti menjadi garam dan terang dimanapun Anda pergi.
2. Arah Kematangan Pribadi
Dalam pertumbuhan emosi, setiap orang mengalami fase-fase tertentu dalam kehidupannya. Fase-fase itu adalah:
1. Dependent. Bergantung kepada Orang Lain.
2. Independent. Mandiri.
3. Interdependent. Saling Bergantung Satu Sama Lain.
1. Dependent
Contoh sederhana adalah anak kecil. Bayi yang baru lahir, sangat dependent pada pengasuhnya. Tidak bisa berbuat apa-apa, harus ditolong dan dirawat.
Anehnya, orang dewasa juga ada yang mirip bayi. ”Dari mana tahu, saya sudah dewasa atau masih bayi?” Tentulah dari ciri-cirinya.
Ciri-ciri Fase Dependent:
- Paradigmanya adalah Kamu.
Arah hidup, motivasi dan totalitas diri selalu ingin ditolong orang lain. Tangannya selalu menunjuk: Kamu, Kamu dan Kamu.
”Kamu harus melindungi saya.”
”Kamu harus membahagiakan saya.”
Seperti anak kecil, kalau membutuhkan sesuatu pasti menangis. Teriak, ”Mama! Papa! Tolong!” namanya juga anak kecil, normal dong.
Tapi jika terjadi dalam pernikahan? Isteri berkata kepada suaminya, ”Kamu harus membahagiakan saya, Kamu harus menolong saya, kalau bukan tanggung jawab kamu so tanggung jawab siapa?”
Sang Isteri tidak mau memikul tanggung jawab. Semuanya dilimpahkan kepada Sang Suami. Pasangannya terus dituntut untuk melakukan segala sesuatu baginya.
Secara fisik, tumbuh secara normal. Dalam tanggung jawab 100% membutuhkan orang lain.
Secara emosional, perasaan aman dan kenyamanan sangat tergantung orang lain. Menuntut orang lain membahagiakannya.
Secara intelektual, selalu menuntut orang lain mengambil keputusan baginya.
Isteri yang tidak putus-putus bertanya,”Pa, besok mau makan apa?” Tidak pernah mau pikir sendiri. Apa sih susahnya? Seharusnya sudah dewasa kan sudah menikah. Bisa dong merancang makan seminggu. Senin makan Ayam Goreng, Selasa makan Pu Yung Hai, Rabu makan Cap Cai, Kamis makan Gado-gado, Jumat makan Mie Goreng, Sabtu makan Ikan Tim dan Minggu makan di luar, dan seterusnya…dan seterusnya.
Tapi karena dia pribadi yang dependen maka tidak bisa mengambil keputusan. Tidak mau disalahkan. Suami saja yang putusin, kalau salah yah tanggung sendiri. Apalagi kecenderungannya selalu ingin menyenangkan orang lain.
Contoh lain supaya jelas:
Sepasang muda-mudi yang mau menikah sementara waktu, tanggal, tempat pesta bahkan pendeta pun bukan mereka yang pilih, tetapi ditentukan orang tua mereka. Mereka menikah tapi jiwanya masih anak kecil karena keputusan-keputusan yang seharusnya mereka ambil masih didominasi orang tua. Bermasalah sedikit, pulang ke rumah orang tua. Kalau ngomong selalu,”Kata Mama bla bla bla…., Papa bilang harus blo blo blo…..kalau tidak bisa bli bli bli.”
Bayangkan jika suami begitu, mana bisa jadi Kepala Keluarga?
Mengapa terbentuk orang dewasa yang seperti ini?
Sesungguhnya orangtualah yang tanpa sadar menjadikan dia tidak mampu mengambil keputusan. Kalau ditelusuri, kemungkinan dia dibesarkan dalam keadaan sangat diproteksi. Sejak kecil tidak dibiasakan ambil keputusan sendiri. Kalau dia mengambil keputusan atau berinisiatif lainnya, selalu disalah-salahin.
Nah, menurut penelitian psikoanalis Erick Ericson, khususnya di usia 3-6 tahun, anak mengalami fase inisiatif vs. rasa bersalah. Anak dalam usia ini mulai berinisiatif, misalnya mau memilih bajunya sendiri, mau membantu orang tuanya. Putra pertama kami Jostein di usia ini senang sekali membantu. Dia ambil pel ketika Liana sedang menyapu.
Astaga, niatnya sih baik. Tapi kain pelnya belum diperas sehingga air berceceran ke mana-mana, malah tambah kacau. Sebagai orang tua, maunya marah. Tapi ingat-ingat tugasnya adalah mengarahkan dan memberikan petunjuk, jadi dibimbing sekali lagi supaya lain kali lebih baik.
Anak berinisiatif yang dimarahi, rasa bersalahnya akan muncul. Nantinya, tidak lagi berani mencoba. Akhirnya, semua diatur orang tua, itu sebabnya anak jadi tidak dewasa. Mereka menjadikan anak sebagai pribadi yang bergantung total.
Hari ini bergantung kepada orang tua, waktu menikah bergantung pada pasangan. Lazimnya, pribadi dependent akan sangat menyusahkan. Bikin pasangan harus memikul semua beban dan tanggungjawab sendirian.
2. Pribadi yang dependent, waktu pacaran, sangat takut kehilangan pasangan. Misalnya, waktu pacaran ribut karena setiap kali ke gereja selalu terlambat. Pacarnya lalu berkata, ”Kamu sih lambat dandannya, lain kali cepetan dong.” Hebat! Next time, pasti lebih cepat.
Pribadi dependent yang suka marah, waktu ditegur, akan cepat menjadi pribadi yang lemah lembut. Berubah 180 derajad. Dasarnya bukan karena dia mau berubah, tapi:
(a) Motivasinya tidak mau ditinggalkan. Takut kehilangan kekasih yang selama ini bisa disandari.
(b) Dia perlu pujian untuk membangun harga dirinya.
Jika masuk ke dalam pernikahan, tuntutannya sangat tinggi untuk dilayani. Dia tidak mau berubah, dipikirnya, ”Saya sudah menikah kok sama kamu, kamu sudah milik saya, hayo sekarang layani saya.” Nah loh…
Pribadi dependent merasa tidak dicintai kalau tidak dilayani. Sangat membutuhkan perhatian yang tinggi. Kalau dibiarkan ke pasar sendiri, mengatur segala sesuatu sendiri, pasti mengasihani diri (self pity). ”Kasihan ya aku ini. Kasihan ya, kok tidak ada yang mengurusi saya?” Padahal dia kan sudah dewasa, malah sudah bisa mengurus orang lain.
Dampak Bagi Pasangan:
Seorang dependent kalau boleh saya ilustrasikan seperti parasit pada tubuh inangnya. Kasarnya, dia mengambil segala kebaikan inangnya, tanpa pernah membalas kebaikan. Bahkan yang paling parah, parasit bisa membunuh sang inang. Demikianlah kira-kira akhir hidup pasangannya.
- Dia menumpang pada kesuksesan pasangan. Menikmati penghasilan pasangan.
- Dia menumpang pada pikiran pasangannya. Setiap masalah, dia minta pasangannya yang pikirkan, pasti beres.
- Dia menumpang pada emosi pasangan. Emosi pasangannya menjadi emosinya juga. Parahnya kalau emosi pasangan lagi down, dia tidak bisa mengereknya. Malah ikut-ikutan down dan terjun bebas. Sampai tiarap.
Pasangan akan merasa lelah, karena dituntut terus. Lebih lanjut pasangan akan merasakan pernikahan yang tidak nyaman.
2. Independent
1. Paradigmanya adalah: Saya.
”Saya dapat melakukan. Sayalah yang bertanggung jawab.”
Motivasinya dari dalam. Semua anak kecil sewajarnya bergerak dari dependent ke independent. Semakin besar, harus semakin mandiri. Istilahnya mampu berdiri di atas kaki sendiri. Tidak lagi perlu ditatah seperti anak kecil yang sedang belajar jalan. Mr. Independent secara esensial mampu menjaga dirinya sendiri.
Dia memiliki disiplin-disiplin yang baik guna mengatur hidupnya. Dia bisa menetapkan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Cakap merencanakan kehidupan, apa yang mau saya lakukan besok, apa yang menjadi target saya tahun ini dan tahun depan. Saya paham menetapkan hidup saya sendiri, sebaiknya orang lain tidak usah ikut campur.
Orang independent pantang menyerah, bahkan cenderung tidak mau mengalah. ”Saya bisa kok!”
Dulu sangat bergantung, tetapi hari ini sangat mandiri. Baik sekali melihat anak kita tumbuh dari dependent ke independent. Dia sudah dewasa! Masuk fase independent itu baik, tetapi sesungguhnya independent bukanlah kematangan yang sejati.
Orang independent tidak cocok menikah karena sebetulnya tidak membutuhkan siapapun dalam hidupnya.
2. Waktu pacaran, kerap mendorong pasangannya berubah. Yakin dalam kemandirian apapun bisa dicapai! Dia memotivasi pacarnya, ”Ayo kamu bisa. Kamu pasti mampu, saya dukung kamu.” Pacaran dengan orang independent rasanya asyik. Pastilah kita ketularan maju dan maju.
Tapi kalau sudah menikah. Cilaka! Hidup sangat terpisah. Prinsipnya seperti orang Jakarta bilang,”Eloe Eloe, Gue Gue.” Eloe urusin diri loe sendiri, gue urusin urusan gue sendiri.
Mengapa?
Dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari dia tidak membutuhkan pasangannya. Segalanya bisa dibereskan sendiri kok. Mau beli barang dia bisa beli sendiri, tidak perlu tanya ke pasangan. Ada masalah, yakin diselesaikan sendiri.
Orang independent berpikir,”Ah, tidak usah ajak pasangan diskusi, nanti jadi lama, apa yang aku pikirkan dan putuskan toh pasti baik, bukan yang buruk.” Karena dia merasa dirinya pintar dan memang sudah biasa memutuskan segala sesuatu sendirian. Selama ini juga tidak apa-apa kok…
Dampak Bagi Pasangan:
Perlahan-lahan pasangan merasa tidak dilibatkan. Merasa tidak berguna di hadapan orang independent. Pasangannya merasa,”Aku kok tidak pernah diajak diskusi sama kamu?” ”Aku kok tidak dianggap?”
Karena pasangan merasa tidak dibutuhkan dan dihargai, muncul reaksi negatif. Memaksa menjadi penting. Segala cara akan dilakukan. Pasangan Independent akan menerobos wilayah privat Si Independent. Akan memaksa masuk untuk dilibatkan.
Tuntutan pasangan jadi berlebihan. Dia ingin tahu apa saja yang dibeli. Berapa harganya? Dimana? Mengacak-acak dompet, melihat-lihat handphonenya, membaca SMS dan List Call. Setiap hari dicek. Lama-lama jadi tidak masuk akal. Alasannya cuma satu, supaya Aku penting di hadapanmu.
Atau mencari kesibukan, sibuk urus ini dan itu. Di rumah ga pernah ditanya, ya sudah, tapi Aku harus jadi orang penting! Bagaimana ya? Di luar rumah saja deh. Di sana pendapatku pasti diperlukan, kehadiranku dicari, akhirnya diriku dihargai.
Kalau di rumah, di hadapan si independent, aku ada atau tidak, juga tidak dipedulikan. Akhirnya, tidak betah di rumah, tidak betah bersama-sama, akibatnya hubungan suami isteri makin lama makin jauh.
Kebutuhan pasangan ada dua:
Pertama, merasa aman.
Kedua, merasa penting.
Kalau menikah dengan yang kepribadiannya independent ataupun dependent, kedua perasaan ini hilang tidak tentu rimbanya.
Menikah dengan dependent. Perasaan aman hilang karena dituntut terus sampai cape. Akhirnya, pasangannya bertanya dalam hati,”Benar tidak sih kamu cinta aku? Kok kamu hanya bisa menuntut saja?” Lama-lama merasa tidak aman dengan pasangannya. Saat berdekatan yang muncul, ”Dia mau minta apa lagi ini?” Ketika si dependent pergi kita malah lega luar biasa.
Menikah dengan pribadi independent. Perasaan penting hilang, karena tidak pernah dilibatkan di dalam kehidupannya. Akhirnya, terus-terusan bereaksi negatif mencari pengakuan.
Refleksi:
Sekarang mari kita merefleksi diri. Hari ini Anda ada dimana? Apakah Anda seorang yang sudah menikah tapi masih dependent dan masih terus berparadigma Kamu…
Atau kita sudah masuki wilayah independent. Saya bisa, saya mampu melakukan ini sendiri. Buruknya, saya sering tidak butuh pasangan.
Tuhan menciptakan pernikahan supaya Anda naik kelas ke level Interdependent.
3. Interdependent
Paradigmanya bukan Kamu, bukan juga Saya. Tapi Kita (We). Kita bisa melakukan segala sesuatu bersama. Kita mampu menggabungkan talenta. Kita akan mencapai hal yang lebih besar dalam hidup karena bersama-sama.
Secara fisik: Saya bisa melakukan segala sesuatu sendirian. Tapi kalau berdua yakin deh hasilnya lebih baik lagi.
Secara emosi: Saya mampu merasakan dan menghayati perasaan orang lain. Saya butuh cinta kasih dari pasangan. Saya tahu selain butuh kasih darinya, saya juga mau memberikan cinta kasih kepadanya.
Secara intelektual: Saya bisa berpikir segala sesuatu sendirian tapi tidak ada salahnya saya bertanya kepada pasangan. Jawabannya pasti memberikan masukan yang bagus.
Karena paradigmanya Kita, selalu yakin bahwa diskusi memperkaya pemahaman yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Orang yang interdependent sejatinya sangat matang. Baginya, sendirian bisa tapi dengan pasangan pasti lebih baik dan indah. Akibatnya, suka sekali berdiskusi plus enjoy bersama-sama pasangan.
Pasangan tidak dipandang sebagai pribadi yang mengganggu, tetapi dilihat sebagai pribadi yang bersamanya pasti hidup lebih baik dan lebih baik lagi. Bukankah firman Tuhan berkata: Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan.
Bagaimana kalau misalnya salah satu pasangan sudah interdependent sedangkan pasangannya masih di fase dependent atau independent?
Kembangkanlah kemampuan self-reflection. Merenungkan pola respons, dan pola tingkah laku Anda kepada pasangan.
Apakah selama ini Anda adalah orang yang menuntut? Tiada jalan lain, cobalah berubah. Ogah la ya… berada di wilayah dependent. Berubahlah dari hal-hal kecil. Merasai melakukan segala sesuatu sendiri. Mulai memberikan sesuatu pada pasangan. Mencoba membangun motivasi dari dalam. Saya ingin belajar membahagiakanmu dengan tidak terus-terusan menuntut.
Kalau urusan siapkan makanan, masih minta saran suami. Sekarang atur sendiri. Beranikan diri ambil tanggung jawab. Termasuk waktu dikritik bilang saja terima kasih. Yakinkan besok pasti lebih okey.
Jika Anda independent, sabar sedikit dalam mengambil keputusan. Mulailah bertanya pada pasangan. Selalu libatkan dia dalam kehidupan pribadi Anda.
Bila hari ini sudah interdependent. Puji Tuhan!!! Peliharalah terus seumur hidup. Itulah yang membawa Anda berdua memasuki True Intimasi (Keintiman Sejati).
Keintiman sejati tidak bisa dilakukan orang dependent karena pasangan tidak nyaman dengan orang yang hobi menuntut.
Keintiman sejati juga tidak bisa dilakukan orang independent karena sesungguhnya dia tidak butuh orang lain.
Keintiman sejati itu cakap dilaksanakan hanya oleh orang interdependent, karena sadar, tidak baik manusia seorang diri saja seperti dikatakan firman Tuhan.
Dalam buku, “God in the Small Stuff”, Bruce Stein menyatakan: Make your marriage better by improving yourself. Buatlah pernikahan Anda makin baik dengan meningkatkan diri Anda, perhatikan kata improving yourself. Bukan improving your spouse, menuntut pasangan berubah.
Kemahiran Interdependent
Kematangan fase interdependent memiliki kemahiran tertentu:
(1) Cakap memberi dan menerima cinta kasih. Dependent hanya bisa menerima cinta kasih. Independent hanya bisa memberi cinta kasih. Dia tidak mau dikasihi karena waktu menerima kasih merasa dirinya lemah. Sementara interdependent cakap memberi dan menerima kasih. Dia tahu mengasihi pasangannya, tetapi ada waktunya dia mau dikasihi.
Dalam Injil, Tuhan Yesus memberikan cinta kasih-Nya pada kita. Dia mati di atas kayu salib. Dengan iman akhirnya kita yang percaya mengalami penebusan dosa. Di sisi lain, Tuhan Yesus pernah menerima seorang wanita yang mencuci kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak narwastu. Saat itu Tuhan Yesus menerima pemberian wanita tersebut.
Dia mempersiapkan Yesus yang sebentar lagi akan mengalami proses ketaatan pada Bapa, yaitu proses menuju kematian. Tuhan Yesus menyatakan,”Apa yang telah dilakukan wanita tersebut, akan disebut dimanapun Injil itu diberitakan.” Tuhan Yesus memberikan cinta kasih pada kita. Di sisi lain, Dia juga tidak menolak cinta kasih dari orang yang mengasihi-Nya.
(2) Cakap menghadapi realita. Menghadapi realita bukan dengan Ambil langkah seribu. Tapi berusaha keras mengatasi dan mencari solusi yang terbaik tanpa menimbulkan masalah baru.
Seorang yang punya hutang, alih-alih membayar malah stress dan lari ke rokok dan alkohol. Dia berusaha melupakan dengan hal-hal yang berdosa. Akhirnya masalah bertambah parah.
Ketika Tuhan Yesus berkotbah ada 5.000 orang yang mendengar. Tak terasa hari mulai gelap dan sudah waktunya makan. Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Mereka lapar.” Tapi murid-murid berkata, ”Biarkan saja mereka pulang”. Jawaban Yesus mengejutkan,”Kamu harus memberi mereka makan.”
Bila lari dari realita, kitapun akan menyuruh mereka pulang. Itulah level para murid. Tapi Tuhan Yesus bertekad menghadapi dan menyelesaikan realita tersebut.
5.000 orang kelaparan. Murid-murid kebingungan. Mulai mencari makanan sesuai perintah tapi hanya menemukan lima roti dan dua ikan, lalu diberikan kepada Tuhan Yesus.
Walhasil, Tuhan Yesus menyelesaikan masalah itu. Dia menyerahkannya kepada Bapa di Surga dan memberkati lima roti dan dua ikan itu. Lalu dipecah-pecahkannya. Mujizat terjadi! 5.000 orang makan sampai kenyang, bahkan sisa 12 bakul.
Saat menghadapi situasi yang tidak mungkin, kita ingin lari. Tetapi jika Tuhan Yesus hadir dalam masalah kita, Tuhan ternyata mengatasi masalah tersebut sampai tuntas. Bahkan masalah diubah-Nya menjadi sumber berkat.
Anda yang sudah menikah, kepada siapa Anda minta tolong untuk menyelesaikan masalah? Tentu kepada Tuhan. Bukan lari, tapi menghadapinya. Tidak sendirian, tetapi bersama Tuhan yang memimpin di depan. Jika pernikahan sudah sangat berantakan, bahkan di ambang perceraian. Marilah tetap hadapi bersama-Nya, pasti ada jalan keluar yang indah.
(3) Cakap mengkaitkan segala sesuatu secara positif dengan pengalaman hidupnya.
Suatu ketika mobil sedan Eropa tahun lawas yang sangat saya banggakan tabrakan sampai mesinnya hancur. Saya sedih, kesal, sebel dan merasa tidak berdaya. Saya mencoba melihat sisi positifnya. Apa yang Tuhan kehendaki? Rupanya Dia mau memberikan Avanza supaya kami berlima dapat terangkut nyaman. Sedan sudah tidak muat.
Mengkaitkan secara positif apapun yang terjadi dalam kehidupan, yang buruk maupun baik seperti Paulus katakan, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”
Dalam keyakinan akan ayat ini, kita tahu dalam segala sesuatu yang terjadi, jika baik kita serukan “Puji Tuhan!” Jika buruk, juga bisa berkata, “Puji Tuhan!“ Karena tahu Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan baginya.
Apakah ini positive thinking? Jelas bukan! Positive thinking segala sesuatu dicari-cari sisi positifnya lalu menghibur diri, masih untung…masih untung. Ini jelas tidak, lah wong kejadian yang menimpa benar-benar buruk! Tapi kita tahu Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu. Dialah Tuhan yang berdaulat. Mengatur segala sesuatu dalam hidup ini.
Hal burukpun ujung-ujungnya bisa dibuat jadi baik bila datang pada Tuhan. Tuhan ahlinya! Yusuf, dibuang ke Mesir, jelas sangat buruk! Jadi budak, masuk penjara. Yusuf bersandar total pada Tuhan. Dia tidak positive thinking yang berpikir: Masuk penjara tetap bagus kok. Apanya yang bagus?! Masuk penjara buruk tetapi berakhir baik karena bersandar total kepada Tuhan. Apapun keadaannya, Tuhan ada di sana.
Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.
Positif thinking, belum tentu bersandar secara total pada Tuhan. Dia hanya berusaha memperbaharui pikirannya, tapi mungkin tidak berseru kepada-Nya.
(4) Mampu belajar dari pengalaman. Dalam satu hari, kita merenung, mengapa saya mengalami hal ini? Kira-kira apa yang bisa saya lakukan supaya lebih baik? Setiap pengalaman kita bawa pada Tuhan dalam doa sehingga trampil belajar dari pengalaman buruk agar tidak terulang.
Kehidupan setiap hari sepertinya sama dan lewat begitu saja, tahu-tahu sudah malam. Besok kita menjalan lagi hari baru. Tidak terasa seminggu, sebulan, setahun lewat begitu saja. Kalau ditanya apa yang sudah kamu lakukan? Tidak tahu. Ada pengalaman baik? Tidak tahu. Ada hal yang perlu dibantu? Tidak tahu. Apa yang telah engkau pelajari hari ini? Tidak tahu.
Semua tidak tahu, karena tidak pernah dipikirkan dan tidak belajar dari pengalaman hidup. Kesadaran sangat rendah. Tetapi begitu memulai self-reflection, setiap malam. Hari ini apa yang telah terjadi? Apa yang membuat suami saya kesal? Apa yang membuat saya marah tadi? Semua dipikirkan dan direnungkan, dikristalisasikan dalam pikiran, pasti mulai melihat intisari-intisari kehidupan. Oh saya begini toh. Oh saya melakukan ini hasilnya begitu. Semua ada sebab akibat. Jadi belajar menghasilkan sesuatu yang baik.
(5) Sanggup mengatasi frustasi. Dalam setiap fase kehidupan pasti memiliki kesulitan sendiri. Waktu kanak-kanak, frustasi karena ulangan umum, setelah remaja frustasi bergumul identitas diri. Lulus sekolah masuk ke masyarakat frustasi bersaing dalam dunia kerja. Sudah berkeluarga frustasi membesarkan anak-anak. Segudang hal yang membuat frustasi. Kita merasa tidak mampu menguasai. Akhirnya, berdampak negatif pada diri dan stress. Muka selalu bermuram durja.
Terlebih saat menikah, suami merasa isteri susah diatur. Sebaliknya isteri merasa suami kok SOK menguasai. Pusing. Tidak mendapatkan apa yang diharapkan. Bila semua yang diinginkan kita dapatkan, tenanglah kita. Realitanya, sebuah masalah belum tentu pergi dalam sehari. Seringkali sampai berminggu-minggu masalah lengket juga. Sudah berbulan-bulan, eh-eh-eh tetap tidak permisi. Bahkan tambah ruwet.
Orang yang matang mahir mengatasi frustasi. Apapun yang terjadi, pada akhirnya mencari segerobak ide untuk mengatasi masalah tersebut.
Orang frustrasi cenderung kena depresi. Seluruh emosi dan pikirannya terkuras habis. Tenggelam dalam masalah. Akhirnya, tidak mampu lagi berpikir hal-hal yang lebih baik.
Orang yang matang akan berdiskusi dengan pasangannya atau mencari orang lain, menceritakan apa yang dialami. Karena berdiskusi dan mengajak orang lain bicara maka nasehat datang bertubi-tubi. Ujung-ujungnya, jalan keluar kelihatan jelas.
Orang Interdependent secara sosial cukup baik, tahu ada batasnya. Saat tiba di titik akhir, sudah tidak kuat. Tidak malu mengakui kelemahan, mau minta bantuan. Akhirnya, dia selalu dapat mencari jalan keluar dan tidak kaku hanya menyimpan pergumulannya sendiri.
Orang yang tidak matang, pada akhirnya mengisolasi diri, masuk kamar dan menangis sendirian. Dalam masalah kehidupan memang Tuhan memberikan waktu untuk kita berduka, tapi tidak selamanya dan jangan terus menerus tenggelam dalam kegelapan.
Kita harus keluar mencari bantuan sementara berseru pada Tuhan. Dia akan mengirim orang-orang yang mau menolong kita, waktu mereka datang, jangan kita usir.
Orang dependent karena frustrasi akan menyalahkan orang lain, karena kamu saya jadi begini. Sebaliknya, orang independent akan menyalahkan diri sendiri karena selama ini yakin bisa dan selalu bisa. Ternyata hidup terlalu gelap dan jahat, Sangat berat menanggungnya sendirian.
(6) Akhirnya, orang interdependent selalu berbagi. Mampu mengatasi hal buruk dengan baik. Tidak hanya menyalahkan orang lain, tapi gencar mencari solusi pada saat situasi memburuk. Orang yang tidak matang menyalahkan orang lain tetapi orang yang matang menyerang masalahnya.
Teruslah bertumbuh, jangan berhenti di tempat. Bersama pasanganlah Anda melatih pertumbuhan. Pantang berkata,”Saya ingin berhenti!” Karena Tuhan tidak pernah berhenti dengan Anda. Tuhan tak putus-putusnya mendorong Anda untuk maju, niscaya pernikahan diberkati dan menjadi berkat!
Growing Up! Up! Up!