Bab 3
Resolving Conflict
Menyelesaikan Konflik
Menyelesaikan konflik suami isteri adalah satu topik yang harus dibahas sampai tuntas. Setelah menghayati bab ini, pemahaman Anda akan konflik pastilah diperkaya. Dengan kekayaan konsep kebenaran, jelas Anda akan cepat-cepat keluar dari sana. Bahkan bertumbuh melaluinya.
Firman Tuhan menyatakan:
- Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah.
- Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.
- Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.
Tuhan menitipkan kebijaksanaan pada Salomo: Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman. Kalau sedang marah, tetapi pasangan lemah lembut menjawab, tiba-tiba lenyaplah kuasa marah. Rasanya tidak enak hati ngomong di level yang tinggi. Tahu-tahu, kita juga akan menurunkan nada bicara kita. Air yang dingin juga dapat memadamkan api.
Sebaliknya, saat kita sedang tenang dan menikmati damai sejahtera. Eh…eh…Pasangan kita ngomongnya pedas, cepat sekali amarah kita terpancing. Rasul Paulus mengingatkan: Janganlah berbicara sembarangan, apalagi terhadap pasangan, tetapi sebaliknya pada saat berkata-kata, justeru yang mendengarnya mendapat kasih karunia Tuhan.
Apa sih konflik?
Mengapa terjadi konflik?
Konflik itu baik atau tidak?
Sebenarnya konflik harus diselesaikan atau dilupakan saja?
Bagaimana sih menyelesaikan konflik dengan benar?
Rentetan pertanyaan tidak berhenti sampai di sini. Oleh karena itu mari kita secepatnya menyantap halaman demi halaman bab ini.
Konflik adalah hal biasa. Terjadi di mana-mana. Di dunia kerja, dunia pertemanan, dunia maya. Pastinya di dunia rumah tangga juga.
Kalau ada muda-mudi yang berkata,“Ah, konflik? Tak pernah tuh! Kita mah saling mencintai. Enggak mungkinlah saling menyakiti. No Conflict dalam kamus kita!”
Yang sudah menikah 10 tahun pasti serempak berteriak,” Mimpi ni yee…!!” Sembari menjulurkan lidah…
Pacaran tanpa konflik mungkin saja. Begitu terjadi, langsung diputuskan sih. Cari yang baru. Dalam pernikahan mana mungkin? Pernikahan tanpa konflik pasti nihil relasinya. Tidak mendalam, bersifat formal dan belum kenal keunikan pasangan.
Pernikahan yang sehat adalah pernikahan yang berkonflik-ria, tapi bisa diselesaikan. Setelah itu, makin mengenal dan mengasihi satu sama lain. Melaluinya ada kemenangan, karena handal mengatasi masalah bersama-sama. Masalah? Siapa takut? Ayo sini! Kami bombardir kalau berani!
(bersambung)
1. Apakah Konflik?
Konflik sendiri artinya dis-agreement. Ketidakcocokan, ketidaksetujuan dan ketidaksesuaian. Yah, dis-agreement secara normal memang terjadi, tapi yang normal seperti apa?
Konflik digolongkan dalam dua jenis:
- Irrational Conflict.
Konflik yang tidak perlu ada. Tak masuk akal. Timbul karena ketidakdewasaan pasangan suami isteri dan faktor-faktor kepribadian seperti: oversensitive, cepat tersinggung, selalu mengkritik, negative thinking, selalu berargumentasi, dan cemburu yang kelewatan.
Pemicunya masalah-masalah sepele. Saat hari-hari sudah berlalu dan menengok kembali ke belakang. Aduh…nyesel deh, tapi sudah terlambat! Kenapa kok kemarin itu saya ribut gara-gara hal beginian?
Seorang suami dengan matanya yang berbinar-binar, bicara pada isteri tercinta, “Mi, aku ingin sekali nih membuat…….(isi sendiri). Sepertinya kali ini aku akan berhasil. Nanti aku akan……..(mimpinya isi juga sendiri).”
Isterinya langsung membelalak. Sedikit berteriak, “Tidak bisa, kamu kan………(coba isi celaannya)!” Dulu kamu juga bilangnya begitu, tapi nyatanya….mana? Kamu mana bisa??!!!!” Adau!
Suaminya terpancing, “Kamu selalu aja ngomong begitu. Ini, ga bisa! Itu, ga bisa! … Aku tidak mau lagi bicara sama kamu!!!!! Dan.. Oh Oh, apa yang terjadi kemudian? Andapun bisa membayangkannya. Apakah konflik ini seharusnya terjadi?
- Rational Conflict.
Konflik timbul dari perbedaan pemahaman atau pendapat atas suatu hal. Misalnya, prinsip hidup, cara berespon, cara pikir dan cara pandang yang berbeda.
Rational Conflict menyadarkan kita, ”Oh ya wajar kalau kemarin itu konflik, kalau tidak dibicarakan hubungan kita malah kacau.” Konflik yang rasional adalah konflik yang normal terjadi. Tapi harus dibicarakan sampai tuntas. Cara berkomunikasi sangat menentukan bagaimana menyelesaikan konflik jenis ini.
Kami berdua pernah konflik hanya karena saya membeli sebuah komputer untuk putra kami Jostein. Menurut saya, Jostein perlu untuk belajar. Lianapun bisa memakainya untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Beda dengan Liana, menurutnya pembelian komputer itu pemborosan. Apalagi di masa itu kami sedang krisis keuangan hebat. Diperparah pembelian itu belum sempat kami bicarakan, langsung eksekusi. Butuh waktu dua hari untuk nyambung kembali dan menyelesaikan konflik ini.
(bersambung)
2. Mengapa Terjadi Konflik?
Tiga hal yang tidak terpenuhi sebagai pemicu dis-agreement suami isteri:
- Unmet Needs. Kebutuhan yang tidak tercapai
- Unmet Goals. Tujuan yang tidak tercapai
- Unmet Hopes. Harapan yang tidak tercapai
Kalau tidak tercapai, suami atau isteri bisa uring-uringan di rumah. Ujung-ujungnya cari ribut. Sadar atau tidak sadar.
1. Unmet Needs
Baik suami ataupun isteri, sama-sama punya kebutuhan. Masing-masing kebutuhannya berbeda. Apa saja?
Kebutuhan Suami:
1. Dilayani. Dalam hal apa?
- Yang pertama, jelas makanan.
Dimana-mana di seluruh dunia, orang pasti suka makan. Makan diperlukan supaya tubuh sehat dan bisa bekerja dengan baik. Sekarang ini, makanan sudah bertambah fungsinya yakni menciptakan kehangatan kebersamaan, dan menikmati kehidupan. Kalau perut kenyang, hati senang.
Oleh karena itu, isteri harus berusaha lebih keras. Makanan jangan itu-itu saja, bervariasilah. Bisa dengan beli di luar atau masak sendiri. Isteri bisa coba-coba makanan baru di rumah. Dari mana sumbernya? Di toko buku resep makanan seabrek. Di internet apalagi, tinggal ketik: SOP BUNTUT, langsung keluar ratusan resep di Google.
Bagaimana kalau masak sendiri dan makanannya bubar? Sebelum dihidangkan, isteri minta maaf dulu. “Maaf ya Pa, sepertinya yang ini gagal deh percobaannya, mau dipesankan atau mau makan ini saja?”
Suami yang baik niscaya mencoba. Kalau memang tidak enak, jujur saja, ”Iya Ma, rasanya kok aneh ya…tak biasa di lidahku, tapi enggak apa-apa. Makasih untuk usahanya, next time pasti jadi.”
Suami senang sekali jika pagi dan sore sepulangnya bekerja dipelihara dan dirawat isterinya.
- Kedua, hubungan seksual.
Secara normal, pria memiliki natur dorongan seks yang lebih besar dari wanita. Para isteri harus memperhatikan kebutuhan ini. Anehnya jika tidak diberikan, niscaya suami uring-uringan sampai menyebabkan kemarahan. Di sisi lain, para suami harus tahu kalau suatu ketika isteri mogok:
(1) Sebagai suatu hukuman karena suami melakukan suatu hal yang tidak menyenangkannya. Misalnya, isteri beli baju baru dan ingin dipuji suami, tapi diperhatikan saja tidak. Kesaaal banget, sediiih banget. Sebenarnya isteri tidak berhak menolak melayani kalau alasannya adalah hukuman. Memang mood isteri akan hilang, jika merasa tidak dikasihi suami.
Keterbukaan dan kejujuran sering kali sangat menolong. Saat isteri jujur menyatakan permasalahan dan bagaimana perasaannya. Lalu suami dengan kasih mendengarkan dan meminta maaf, niscaya apa yang diinginkan suami akan segera diberikan.
(2) Isteri tidak sanggup melayani. Kenapa tidak sanggup? Mungkin saat itu sedang mengalami menstruasi, atau sedang sakit, atau mengalami kelelahan yang luar biasa. Dalam hal ini, suami harus mencoba mengerti dan mengasihi isterinya.
(3) Suami melakukan dosa. Misalnya berselingkuh. Isteri pasti jijik. Dalam hal ini, suami harus bertobat.
2. Dihormati. Masalah menghormati suami ternyata juga mendapat pengesahan dari firman Tuhan “Hai isteri tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.” Bagaimana caranya isteri menghormati suami?
- Isteri berbicara dengan sopan, baik, hormat, dan lemah lembut. Matanya tidak menantang, melotot-melotot seperti ikan mas koki. Isteri tidak memandang rendah suami. Tidak berbicara dengan nada dan sikap yang menantang. Tidak perintah-perintah melulu. Ketika berbicara, memandang suaminya dengan baik, mencerminkan seorang wanita yang anggun dalamnya.
- Isteri harus berterimakasih atas hal-hal yang dilakukan suami. Toh sudah bekerja menghasilkan sesuatu. Sudah memberikan waktu untuk mendengarkan isteri, bermain bersama anak. Karenanya, perlu sungguh-sungguh memuji suami dan berterimakasih kepadanya dengan tulus.
- Isteri harus mengajak anak-anak hormat pada ayahnya. Dari tingkah laku dan sikap sang ibu, anak-anak bisa melihat, apakah ibunya sopan atau tidak. Kalau ibu bicaranya teriak-teriak, anak-anak adalah peniru yang handal. Jelas ikut-ikutan teriakin ayahnya.
Kalau ibu sering membeberkan kekecewaan, “Papamu tuh orangnya lelet… Papamu tuh orangnya malas… Papamu tuh tidak bertanggung jawab…” Anak akan memandang rendah ayahnya.
Sebagai isteri, wajib menjaga martabat dan harga diri suami di hadapan anak-anak. Hati-hati! Suami terhina berubah rupa jadi singa murka nan ganas. Akan marah luar biasa dan melakukan hal-hal tidak masuk akal. Termasuk jika suami pendiam, kemurkaannya akan makan ke hati. Akhirnya, cepat pulang ke surga. Anda tidak ingin kan dia cepat-cepat angkat koper?
Di sisi suami, bagaimana supaya dihormati isteri?
- Suami harus mengasihi isteri. Berkorban baginya, seperti Kristus berkorban bagi jemaat.
- Terlebih harus menghormati isterinya. Kalau bicara, jangan nge-bossy. Tak boleh perintah-perintah. Jangan otoriter. Suami suka teriak-teriak,” Eh, bikin ini! Eh, bikin itu! Jangan lupa ya!” Yang begini, bertobat sekarang juga.
- Menyediakan waktu untuk mendengarkan isteri.
- Selalu mendahulukan isterinya, terutama pada saat dibutuhkan.
Kalau isteri benar-benar tidak hormat pada suami, apa yang terjadi? Hal yang mengerikan datang tanpa diundang. Suami akan berusaha mendapatkan penghormatan secara paksa.
Mulai dari:
- Nada suara yang keras. Lemah lembut is gone. Suami pikir dengan menggunakan level suara yang keras, baru isterinya mau tunduk. Pada beberapa isteri cara ini mujarab, tapi pada isteri yang lain malah mendatangkan perang dunia ketiga. Nah…loh…?!
- Kekerasan (memukul dengan tangan). Sasaran pemukulan pertama adalah benda-benda di rumah. Kalau ahli Kung Fu macam Bruce Lee dimulai dari memukul pintu, dilanjutkan dengan tembok (Aduh sakit…!). Ah… lain kali pintu aja karena suaranya kencang dan efeknya dahsyat (isteri langsung takluk). Tapi bila suami merasa tidak dapat menguasai keadaan dan tetap tidak memperoleh hormat, mulailah dia memukul isteri dan anak-anaknya.
Kejadian ini tidak terjadi dalam semalam, perlahan-lahan berakumulasi sampai terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Lazim juga terjadi dalam keluarga Kristen. Ini bukan yang Anda inginkan, bukan? Bahkan Tuhan pun sedih dibuatnya.
Seyogyanya, isteri harus peka karena suami butuh dihormati. Suami perlu merasa diakui sebagai Kepala dalam rumah tangga. Berikanlah pengakuan itu kepadanya sehingga suami merasa: Akulah Kepala di rumah ini.
3. Dipercaya. Kepercayaan dalam beberapa hal:
(a) Keuangan.
Jika suami ingin dipercayai dalam hal keuangan maka harus memiliki kepribadian yang trustworthy. Caranya, transparant dalam pemasukan dan pengeluaran.
(b) Pengambilan keputusan.
Agar cakap mengambil keputusan yang tepat, suami harus punya hubungan yang dekat dengan Tuhan. Tuhanlah sumber segala bijaksana. Dia yang memimpin kehidupan kita. Kalau suami tidak dekat, apa bisa dipercaya? Kemana arah keluarganya akan dibawa? Makin sesuaikah dengan rencana indah yang Tuhan tentukan atau sudah tersesat?
(c) Relasi dengan teman-temannya.
Dengan siapa suami bersahabat? Apakah teman-temannya orang yang takut akan Tuhan? Mereka membuat suami makin jauh dari isteri atau sebaliknya? Suami harus menunjukkan: Saya orang baik. Lihat! Teman-teman saya bukan pemabuk, bukan penjudi, bukan tukang main wanita, bukan narkoba, bukan orang yang berniat jahat, dan bukan yang suka selingkuhan.
Kalau isteri merasa suaminya berada dalam hubungan yang baik secara etika dan moral, pastilah senang dan tenang. Isteri paling takut suaminya diperalat teman-temannya karena terlalu baik. Misalnya dimintai uang, langsung dikasih ga pake nanya-nanya. Akhirnya bukan suami tidak dipercaya isteri, tapi isteri tidak percaya kepada teman-teman suaminya. Ujung-ujungnya, suami dideteksi terus…
(BERSAMBUNG)
Kebutuhan Isteri:
Mari melihat apa kebutuhan wanita yang harus diperjuangkan sekuat tenaga:
1. Loved and To Be Loved. Dikasihi.
Saat suami berkata I Love You, Suami lebih mengutamakan istrinya dibanding yang lain. Yang lain itu apa? Yah pekerjaan, hobi, teman dekat, termasuk juga orang tua, dan saudara-saudara. Pokoknya, yang seringkali menyibukkan suaminya.
Ada seorang pemuda, katakan namanya David. Suatu malam ayahnya yang sudah tua minta untuk diantar ke dokter. David menjawab,” Aduh Pa, ini sudah malam, dokter juga sudah tutup, bagaimana kalau besok pagi saja ya. Papa tidur saja malam ini, tenang-tenang saja.” Ayahnya pikir ya sudahlah tidak apa-apa besok saja. Benar, lagian sudah malam sekali.
Lalu papanya memaksakan diri tidur. Tiba-tiba setengah jam kemudian telepon berdering. Siapa tuh? Ternyata Anna, pacarnya David. Ada apa malam-malam telpon? Oh, rupanya mama Anna membutuhkan obat. Anna minta diantar ke apotek. ”Vid, ayo dong anterin aku, bentar aja.” David secepat kilat ganti baju, ambil jaket dan motor pergi menjemput. Langsung diantar ke apotek.
Dari cerita ini, siapa yang dicintai David? Jelas David lebih mencintai Anna daripada ayahnya sendiri.
Perasaan dicintai muncul saat seseorang merasa diutamakan, didahulukan lebih dari pada yang lain.
2. Feeling Secure. Merasa aman.
Ada dua faktor yang membuat isteri merasa aman:
- Adanya relasi dengan Tuhan.
Jika relasi istri dengan Tuhan baik maka dia percaya apapun yang terjadi dalam hidupnya, Tuhan sedang dan akan selalu memimpin. Seperti bayi dalam pelukan ibunya, walaupun bumi bergoncang, tetap merasa aman.
Jika hal yang terburuk terjadi. Umpamanya suami selingkuh, mungkinkah tercipta rasa aman itu? Jika isteri menggantungkan hidupnya pada suami, pastilah kehilangan pegangan dan putus harap. Aduh…Kiamat hidupku! Tetapi jika dia bergantung pada Tuhan. Hidupnya masih ada pegangan. Dia tidak akan merasa hidupnya berakhir tapi masih kuat menggantungkan masa depannya pada Tuhan yang akan memimpin dan memeliharanya.
- Suaminya seorang yang bisa dipercaya (trustworthy). Isteri tidak akan khawatir ketika suami ke luar kota. Ketika suami menggunakan uangnya atau ketika suami pulang malam.
Suami trustworthy punya karakteristik:
– Mencintai dan membina relasi denganTuhan.
– Mengasihi dan membina relasi dengan isterinya.
– Bertanggungjawab atas perekonomian keluarga.
Kami pernah melewati masa-masa yang sulit. Liana sebenarnya orang yang tenang. Tetapi pada saat keuangan menipis bahkan menguap, tiba-tiba perasaan aman Liana hilang. Ibarat kucing terpojok dan ketakutan. Tiba-tiba ubah rupa jadi singa. Mengaum keras sekali! Buset…
Saya diserang dengan kata-kata yang menghunjam, bagaikan belati mengiris-iris. Sakit sekali! Sebagai suami saya merasa terhina. Tapi Puji Tuhan! Saat itu kami lari pada Tuhan. Dialah yang selalu memberikan Exit Door. Kami tidak tenggelam dalam situasi itu terus. Setelah masa itu lewat, perasaan aman makin bertumbuh, terbentuklah saling mengerti dan saling menjaga.
3. Sense of Importance. Merasa penting.
Isteri ingin merasa dibutuhkan. Kadang suami tidak menganggap penting kehadiran isteri. Ada atau tidak ada, sepertinya sama saja. Bila isteri diijinkan berpartisipasi dalam kehidupan suami, tentu merasa dinomorsatukan.
Ada seorang isteri curhat, ”Sejak suamiku wiraswasta, aku dicuekin terus!” Sang suami tidak lagi melibatkannya dalam usaha yang baru. Tiada lagi cerita bagaimana perkembangan usahanya, dan apa saja kesulitan-kesulitannya. Sekarang suaminya malah dekat dengan rekan kerja.
Padahal dulu, waktu suaminya masih bekerja di kantor. Kalau pulang pasti bawa cerita-cerita lucu. ”Kamu tahu enggak, tadi di kantor si bos ngamuk, gelo banget ngamuknya, masa gara-gara…cas cis cus cas cis cus.” Isteri merasa penting karena sang suami bercerita. Setelah wiraswata, suaminya malah diskusi dengan temannya. Isteri tidak diajak terlibat lagi. Rasa tidak penting muncul. Padahal dia ingin mendukung suaminya.
Bagaimana membangun perasaan penting?
a. Apa yang dibuat isteri seyogyanya dihargai suami. Jika isteri sudah membuat makanan di rumah, janganlah makan di luar tanpa penjelasan. Isteri pasti keki luar dalam.
b. Isteri diperlakukan sebagai pribadi. Bukan benda. Benda digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Waktu mau digunakan, diambil. Waktu kita tidak pakai, ditinggal. Ibarat peribahasa: Habis manis, sepah dibuang. Padahal, saat tidak membutuhkan kehadirannya, mungkin dia yang membutuhkan kehadiran kita, makanya harus peka. Hubungan suami isteri bukan hubungan fungsional, tetapi hubungan relasional yang saling mengisi satu sama lain.
- Isteri dijadikan tempat bicara. Suami bebas bercerita, bertanya, mengeluh, bergumul, mengungkapkan pendapat, pikiran dan perasaannya. Bebas asal jangan bablas! Setelah itu sang isteri jangan berkata,” Kamu bodoh banget sih?” Gawat! Suami bisa mabur!
Kalau dijadikan teman bicara, tentu isteri merasa bahagia, mengerti atau tidak, itu urusan belakangan. Intinya, kalau diajak ikut berbagian dalam hidup suaminya, pasti akan merasa penting.
- Suami menyediakan waktu ‘spesial’ bagi isteri. Kami mengingat beberapa tahun yang lalu, saya terlalu sibuk pelayanan. Liana jadi uring-uringan. Liana berpikir,” Dulu setiap minggu, selalu setidaknya satu kali ada waktu berdua; tapi sekarang sibuk terus. Satu minggu lewat, dua minggu lewat, eh… tiga minggu lewat kok sibuk ga abis-abis… tidak pernah pergi berdua-an?” Akhirnya, hal-hal sepele bisa jadi besar. Kenapa? Karena sense of importance-nya mulai saya lalaikan.
- Suami mengerti perasaan istrinya. Tingkah laku dan sikap seorang wanita biasanya diatur oleh perasaan. Suami dengan pertolongan Tuhan perlu memiliki kepekaan tentang sikon isterinya.
Waktu pulang ke rumah, Saya bisa merasakan aroma bad temper Liana. Mungkin karena dia cape dengan anak-anak. Ya sudah, Saya dekati saja. ”Kenapa Na kamu hari ini?” Mulailah Liana bercerita,” Iya tadi tuh, Jostein bla-bla bla-bla…” Ya sudah, saya dengarkan saja. Saya perhatikan dengan tekun dan penuh perjuangan, sambil menantikan, ”Kapan yah… habisnya…, kok enggak habis-habis nih?” Setelah mengikuti dengan tekun dan sabar disertai doa. Eh, pelan-pelan reda sendiri. Kalau sudah tenang, saya ajak berdoa,”Yuk, kita serahkan sama Tuhan Yesus.”
Mendengarkan isteri, ada satu prinsip: Jangan sekali-kali menimpali. Dengarkan saja semua keluhannya. Nanti malah berkelahi kalau diresponi. Kalau ada waktu ya… diajak keluar rumah sebentar, supaya menghirup udara segar.
Pernikahan adalah perjuangan seumur hidup. Pernikahan juga sekolah seumur hidup, tempat kita belajar untuk saling mengenal dan mengerti, lalu bersama-sama bertumbuh. Setelah tahu, mari kita jalankan dengan pertolongan Tuhan!
(bersambung)
2. Unmet Goals
Pria dan wanita, masing-masing punya Independent Goal atau Tujuan Pribadi. Tujuan pribadi pasti dibawa masuk ke pernikahan. Marriage is Two Become One. Dua jadi Satu. Bagaimana dua pribadi yang bertujuan beda menjadikan tujuannya bersatu?
PRIA: Sebelum menikah, seorang pria punya tujuan personal untuk bekerja sampai posisi puncak. Dia menaruh semua perhatian, konsentrasi, waktu, kemampuan, bahkan kebahagiaannya demi pencapaian karir.
Setelah menikah, sekarang beristeri dan beranak. Apakah tujuan personalnya ini boleh dibawa terus? Jika belum tercapai, jelas mati-matian mengejar. Bekerja dan bekerja bahkan makin tenggelam dalam pekerjaannya. Apa yang akan terjadi? Apakah salah jika seorang pria mengejar karirnya? Memang, secara natural 90% tujuan personalnya adalah berkarir, karena harga dirinya terletak di sana.
MASUKKAN BOX
MAIN SAMA PAPA
Seorang anak sangat sedih karena merindukan ayah bermain dengannya. Tapi sayang, papanya ini sangat sibuk bekerja. Suatu ketika, anak ini mengajak papanya main lagi. Tahu-tahu sang papa menyombongkan diri,” Kamu tahu tidak, papamu dibayar 1 jam Rp. 500.000 oleh perusahaan-perusahaan itu. Papa ini mahal sekali. Papa bekerja keras untuk kamu.”
Air mata mulai berlinang. Sudah lama ingin main dengan papanya barang cuma berapa menit saja. Tak terduga, anak ini mengambil celengan, memecahkannya, mengambil uang dan menyerahkannya ke papanya sambil berkata,”Pa, saya cuma punya Rp 76.500. Saya bisa beli waktu papa berapa lama untuk main dengan saya?”
Papanya kaget, ternyata anaknya selama ini sangat merindukannya. Selama ini terlalu menggali kebahagiaan dari harga dirinya di dalam pekerjaan. “Aku adalah orang berhasil. Aku adalah yang paling jago. Aku adalah orang yang mencapai tujuan di dalam usia muda, tapi ternyata… aku telah menyakiti orang yang kukasihi.”
BOX SELESAI
Hati-hatilah saat membangun harga diri dan identitas HANYA dari pekerjaan. Saat yang sama mungkin kita sedang kehilangan harta berharga di rumah. Biasanya penyesalan datang terlambat…
Jangan berkata, “Aku bekerja untuk isteri dan anak-anakku. Aku mengasihi mereka!” Pertanyaan yang harus dijawab: “Dimana Anda saat isteri dan anak-anak membutuhkan Anda?”
WANITA: Apa tujuan pribadi seorang wanita ketika menikah?
Dalam hati mereka, ada satu keinginan yang kuat untuk bersama-sama. Wanita ingin dipelihara, ditemani, dan dimengerti. Wanita ingin menghilangkan kesepian, dan diakui keberadaannya. Ada juga wanita yang memakai pernikahan sebagai kesempatan untuk kabur dari rumah karena papa mama terlalu mengekang.
Banyak sekali motivasi mengapa seorang wanita menikah. Secara umum mereka ingin memiliki ikatan kebersamaan dengan suaminya. Sang suami harus selalu bisa membagi waktu dengan dengannya.
Di sisi lain, seorang isteri sewajarnya harus tahu: Tidak bisa setiap hari menuntut terus kebersamaan. Tak mungkin menuntut suami setiap hari di rumah. Nanti makan apa dong? Masa batu digoreng?
Misalnya Isteri sudah bete di rumah, pengen keluar jalan-jalan berdua suami, supaya bisa ngobrol-ngobrol santai. Tapi, Celaka! Bagaimana jika suami sudah terlalu cape, merasa hari libur adalah hari spesial memanjakan diri. Tidur…sebentar lagi…Baring sebentar lagi, santai dulu ah… atau memoles mobil kesayangan sampai kinclong...plus bermain dengan anjing piaraan… dan tidak mau diganggu?
Kalau masing-masing mempertahankan tujuannya sendiri, konflik yang besar sudah menanti untuk memporak-porandakan pernikahan.
Liana pernah berkata,”Jikalau kamu sibuk Okeylah. Apalagi jika pekerjaan banyak dan harus diselesaikan, tetapi setelah semuanya lewat, kamu harus menyediakan waktu untuk ajak kami jalan-jalan ya…” Begitulah pesannya yang sudah terpatri dalam hatiku.
Setelah dipenuhi, kadang hanya di rumah saja, asalkan saya memberikan waktu bersamanya, Liana merasa lebih tenang. Ketenangan batin adalah kunci untuk merawat keluarga.
Tujuan Pribadi harus perlahan-lahan berubah menjadi Interdependent Goal atau Tujuan Bersama. Apa artinya? Harus ada kepekaan dan fleksibilitas untuk menstabilkan tujuan personal dan keluarga. Ada saatnya suami harus bekerja keras dan menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas, tapi ada kalanya keluarga diprioritaskan dan delete semua jadwal pekerjaan yang menumpuk.
Ada saatnya isteri menuntut suami menemaninya, ada kalanya juga isteri memberikan kesempatan pada suami untuk menikmati kesenangan. (Lihat Bab 9 Adaptibility dan Flexibility).
Setelah seseorang menikah, dia akan mulai menggali kebahagiaannya dari keluarga. Menikmati kebersamaan dengan isteri dan anak-anaknya. Dia bahagia waktu isteri dan anak bahagia. Ingin berbagian dalam mendidik anak-anaknya. Berusaha ada, sewaktu keluarga membutuhkannya. Inilah Family Man.
Orang yang matang adalah orang yang sangat fleksibel, tidak kaku, tidak melulu hanya memperhatikan satu sisi kehidupan. Dia dapat melihat berbagai dimensi kehidupannya. Cakap menaruh prioritas pada beberapa titik, tidak hanya satu poin saja.
Suami isteri yang dikasihi Tuhan, kenalilah apa tujuan personal masing-masing! Apakah Anda masing-masing memaksakan tujuan? Setelah tahun demi tahun lewat, apakah tujuan pribadi telah memisahkan Anda berdua? Apakah hal ini menyebabkan konflik yang tidak berkesudahan dalam keluarga?
Buka Agenda, ciptakan waktu berdua. Kalau perlu ambil cuti barang dua hari. Diskusikanlah kembali apa tujuan pernikahan Anda.
(bersambung)
3. Unmet Hopes
Dua macam harapan:
- Realistic Hope. Harapan yang sesuai dengan kondisi realita dan kemampuan yang ada. Harapan yang dapat dipenuhi pasangan.
- Unrealistic Hope. Harapan yang tidak sesuai dengan realita atau kemampuan yang ada. Pasti ujung-ujungnya konflik karena pasangan tidak kuasa menyanggupi.
Realistic Hopes seperti apa?
Diukur dari kemampuan. Jika suami atau isteri mampu, bolehlah kita berharap.
Misalnya, Anda berharap setiap malam keluarga bisa berkumpul untuk berdoa. Suami sudah pulang sejak jam 7 malam. Jadi, masuk akal.
Atau, saya berharap isteri menyediakan makan pagi sebelum saya pergi kerja. Isteri bangunlah lebih pagi dan rencanakan apa yang akan dihidangkan. Tidak sulit.
Di atas adalah contoh-contoh yang realistik. Kemampuan pasangan ada, bolehlah berharap.
Mari kita diskusikan. Bila ada seorang istri mengharapkan suaminya menjadi family man. Apakah harapan ini realistik atau tidak? Bagaimana kita mendefinisikannya? Pertama, harus melihat apakah suaminya mampu atau tidak. Jika ia dibesarkan dalam keluarga yang ayah ibunya berperan dengan baik (fungsional family). Pasti mampu.
Sebaliknya, dia akan mengalami kesulitan kalau ternyata bukan berasal dari keluarga yang family man. Katakan latar belakang keluarganya dysfunction. Ayah telah meninggalkan ibunya sejak lama. Sampai dewasa tidak pernah menerima satu warisan yang indah dari seorang ayah yang memperhatikan keluarga.
Kalau begini, isteri harus benar-benar peka, ”Mampu tidak ya suamiku menjadi family man?”
Tentu kerinduan sang isteri bisa menjadi Realistic Hope jika diberikan waktu dua sampai tiga tahun. Dilengkapi komitmen untuk membantu suaminya. Tapi jika mengharapkan suami berubah dalam waktu singkat, jadilah Unrealistic Hope. Karena tidak memberikan waktu yang cukup bagi suami belajar, mengembangkan diri dan melakukan perubahan.
Unrealistic Hopes, apa saja?
- Mengharapkan pernikahan dapat menghilangkan kesunyian. “Aduh sekarang sudah menikah, tapi kok masih kesepian…” Suami toh harus bekerja. Lazimnya di awal pernikahan, dengan tanggung jawab memenuhi perekonomian, suami sangat memprioritaskan pekerjaan.
Kesepian adalah natur keberdosaan manusia. Kekosongan jiwa ini hanya bisa diisi oleh Tuhan dan sulit diisi pasangan. Jika kesepian menguasai, seyogyanya membangun intimasi dengan Tuhan. Dia berkata,”Aku adalah Allah yang Immanuel. Damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak bisa diberikan oleh dunia, termasuk pasanganmu sendiri.”
- Mengharapkan pernikahan happily ever after. Seperti dongeng-dongeng Cinderella. Setelah menikah, ada Prince Charming dan Beautiful Princess yang selalu berbahagia. Padahal, pasti ada masa-masa unhappiness yang diijinkan Tuhan guna menambah dimensi kehidupan dan mendewasakan kita.
- Mengharapkan pasangan berbuat sesuai dengan yang saya inginkan. Ketika diskusi, saya ingin nada suara pasangan pelan terus. Celakanya, pasangan bukan berasal dari keluarga dengan tone rendah. Mungkin waktu berdiskusi di keluarganya dulu sudah biasa dengan emosi yang meninggi. Biasa beda pendapat, kalau ngomong kedengarannya seperti orang marah-marah.
Mengapa dia menuntut pasangan berbicara dengan pelan? Mungkin dia teringat, dulu…waktu papa mamanya sedang berdiskusi, dan ketika suara ibunya meninggi. Tidak lama kemudian kedengaran… Plak! Plak! Plak! Papanya marah dan memukul ibunya. Hari ini, saya memberi satu syarat: Kalau berdiskusi suaranya jangan kenceng-kenceng ya!
Trauma masa lalu membuat dia takut pengalaman ayah ibunya akan terulang kembali sekarang. Jelas ini Unrealistic Hope. Pastinya tidak mengizinkan ada emosi dalam diri pasangan dan tidak mengizinkan diskusi berjalan dengan objektif. Jika ada tuntutan yang berlebihan, pasangan sewajarnya diberitahu alasan yang melatar belakanginya. Supaya saling menolong.
- Mengharapkan yang ideal tanpa melihat kemampuan.
Ada sebuah keluarga yang keuangannya tidak mampu mencicil rumah. Unrealistic Hopes sang isteri menuntut suaminya. Padahal dia tahu berapa gaji sang suami, sudah habis pula untuk cicilan mobil. Sang isteri keras berharap dalam 1-2 tahun harus sudah punya rumah. Pindah dari Pondok Mertua Indah.
Akhirnya, ini menjadi konflik berkepanjangan. Sebenarnya, suami mau tidak beli rumah? Ya Mau dong, tapi mampu tidak? Belum mampu! Jangan terus memaksa pasangan sehingga menjadi sumber konflik
- Mengharapkan tidak ada konflik dalam rumah tangga. Inipun Unrealistic. Damai bukan tidak adanya konflik. Dalam kedamaian terkadang juga ada perselisihan, tapi bisa diselesaikan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan hubungan dangkal dan formal, tidak pernah melihat ayah ibunya marah-marahan. Sebenarnya hubungan yang sangat dalam dan intens adalah hubungan yang mengizinkan konflik hadir tapi kemudian bisa diselesaikan dengan baik.
(bersambung)
3. Cakap Mengatasi Konflik Suami Isteri
Konflik adalah hal biasa dalam hubungan suami isteri. Pertanyaannya: Jika biasa kenapa berakibat fatal? Mengapa banyak pernikahan menjadi dingin setelah ribut besar? Tepat, karena tidak cakap mengatasinya.
Jika konflik bisa diatasi dengan baik, yang timbul intimasi. Suami isteri makin dekat malah makin kenal. Makin kenal maka makin sayang. Setelah itu, muncullah komitmen-komitmen baru yang dibuat bersama untuk mengerek hubungan ke level yang baru.
Apakah lebih sering konflik menjadi lebih baik? Karena akan tambah kenal? Wah… kalau bisa tidak usah la yau…Kenapa? Konflik ada yang BERAT ada yang RINGAN. Kalau terlalu berat tentu hubungan pernikahan menjadi madesu (masa depan suram).
Konflik berat ringan, diukur dari apa?
- Dari banyaknya / frekuensi konflik.
Jika suami isteri konflik setiap hari, piring beterbangan di rumahnya, ini sudah kategori berat, tidak sehat dan sangat melelahkan. Menurut riset, pasangan yang mengalami marital distress, rata-rata 3 atau 4 kali dalam 5 hari mengalami konflik. Pasangan yang happy, ternyata mengalami 1 kali konflik dalam 5 hari.
“Wah, kalau kita tuh tidak pernah konflik” kata seorang yang baru menikah. Sebaliknya, kalau tidak pernah konflik, harus dicari tahu penyebabnya. Jangan-jangan ada yang salah dalam hubungan mereka:
- Tidak membicarakan hal-hal yang bersifat personal. Pembicaraan hanya berkisar objek di luar diri. Ini juga akan mengakibatkan hubungan yang dangkal, cuma basa basi.
- Takut dengan yang namanya konflik. Tidak berani masuk ke dalam pembicaraan yang seharusnya dibicarakan, akhirnya dipendam. Dipendam kan tidak muncul konflik, tetapi lama-lama jadi penyakit kronik.
- Diukur dari issue pencetus konflik. Issue bisa penting atau tidak penting. Penting, misalnya: Masalah keuangan, masa depan anak-anak atau masalah kebiasaan-kebiasaan buruk, suka nonton VCD porno sehingga membawa keluarga jatuh dalam dosa.
Tidak penting, misalnya masalah makanan kurang garam, mengungkit-ungkit hal-hal yang telah lewat, menaruh sendok dan piring sembarangan.
3. Diukur dari durasi konflik. Berapa lama satu konflik berlangsung? Jika hari ini marah, harus padam sebelum matahari terbenam. Kenapa matahari terbenam jadi ukurannya? Karena Tuhan kasihan sama Anda. Marah boleh kok, tetapi jangan kelamaan. Bisa pahit dalam hati. Nanti darah tinggi. Mesti cepat diselesaikan.
Berbahagialah orang yang membawa damai, mereka akan disebut sebagai anak-anak Allah.
Manusia dapat dikategorikan dua macam: Pembawa Damai vs Pencinta Damai.
Apa bedanya?
- Pembawa Damai (Peace Maker) adalah orang yang secara aktif menyelesaikan konflik, mengerjakan supaya ada kedamaian. Ada ribut, dibereskan. Berani open conflict artinya dia sadar ada masalah. Bila diangkat bisa ramai, tapi wajib dibicarakan sampai tuntas. Hasilnya adalah damai di bumi, damai di hati.
- Pencinta Damai (Peace Lover) adalah orang yang menghindari konflik. Lari dari masalah, bertingkah laku pengecut. Seorang pencinta damai kalau menemukan masalah cenderung menyimpannya dalam hati, tidak berani masuk ke dalam konflik untuk menyelesaikan (closed conflict).
Pencinta Damai punya dua cara menghindari konflik:
- Menyangkali adanya masalah.
Kalau ditanya pasti akan berkata, “Masalah apa? Ga ada apa-apa kok, aku baik-baik saja.” “Kamu kali yang kenapa-kenapa.” Padahal….
- Menghindar dari pembicaraan masalah.
Kalau diajak bicara, “Kamu kelihatannya kesel deh, kenapa sih?” Dia akan menjawab, “Sudahlah, ga usah deh bicarakan itu. Pusing aku jadinya!” Atau, dia akan mengalih ke topik pembicaraan yang lain.
Orang normal kalau melihat sesuatu yang tidak baik dan menyakiti hati kecenderungannya pasti marah. Jika memendam amarahnya, lama-lama akan stress dan sakit hati atau jika tidak tahan jadi blow out tidak terkendali seperti bom meledak. Biasanya tidak pernah marah, tapi sekali ini marahnya kok kayak gitu? Damai di bumi (tampaknya), tapi galau di hati.
Anda masuk kategori mana? Pembawa Damai atau Pencinta Damai?
Mengapa hubungan suami isteri menjadi dingin? Karena sudah apatis, ”Percumalah aku ngomong, dia juga tak mungkin berubah. Cape aku.” Sudah tidak ada lagi keinginan untuk menjadikan lebih baik, padahal Anda adalah Creator. Gambar dan rupa Allah. Punya kemampuan menciptakan situasi lebih indah. Jadilah pembawa damai, bukan pencinta damai.
(bersambung)
Lima Tahap Penyelesaian Konflik
”Konflik harus diselesaikan dengan negosiasi.” Sukses negosiasi terjadi saat kita mengetahui apa yang pasangan dambakan dan memberikan apa yang diinginkannya. Sementara itu, kita juga mendapatkan apa yang kita mau. Inilah Win-Win Solution.
Akui saja, konflik memang bikin K E K I. “Kenapa sih pasangan yang kucintai malah menyakiti hatiku luar biasa!” Kita sebal, mau ngomong tapi gengsi, mau bicara tapi tidak berani. Sekesal-kesalnya, kita harus berani maju untuk menyelesaikannya, karena konflik tidak boleh menjadi hambatan untuk pasangan saling mencintai.
Lima Tahap Penyelesaian Konflik:
- Bicarakan dulu dengan Tuhan melalui doa.
Pada saat kita kesal. Padahal dulu cinta banget. Sebelum berbicara dengan pasangan, harus bicarakan dahulu dengan Tuhan. Setelah berdoa, heran sekali, kita memperoleh kuasa supranatural dari Allah. Tuhan akan mengubah hati kita menjadi tenang.
MASUKKAN BOX
Marah dan Kabur
Pernah satu kali saya marah besar pada Liana. Saya sebel sekali, saya pikir daripada keki mendingan pergi jalan-jalan saja. Supaya lupa dan reda hati ini. Tapi jalan-jalan tidak membereskan hati yang galau. Saya berdoa,” Oh Tuhan, tolongin saya supaya saya mampu bicara dengan Liana. Agar saya baikan lagi dengan dia dan dapat membicarakan masalah yang tadi itu. Tapi sejujurnya Tuhan, saya rasa sakit hati.”
Model saya begini banyak loh pengikutnya. Waktu alami konflik di rumah, KABUR! Jalan-jalan, cari hiburan di luar rumah, rumah hanya sebagai medan pertempuran.
Karena sudah berdoa, waktu saya pulang, ternyata Liana sudah baik. Dia sudah siap menerima untuk membicarakan masalah yang menggelisahkan hati saya itu. Tuhan juga menjawab doa dengan mengubah hati Liana.
BOX SELESAI
Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.
Perhatikan kata: MENGINGINI SESUATU, sengketa itu karena adanya Unmet Needs, Unmet Goals, dan Unmet Hopes.
Sekarang, mari renungkan kehidupan kita. Siapa yang bisa memenuhi kebutuhan Anda? Apakah pasangan? Tidak, seharusnya kembali pada Tuhan. Dia bertanya, ”Pada saat engkau memiliki kebutuhan-kebutuhan, mengapa engkau tidak datang kepada-Ku?” Tuhanlah sumber segala pemenuhan kebutuhan. Ia yang satu-satunya dapat memenuhi seluruh hasrat, karena Dialah kita ada. “Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena tidak berdoa …. “
Dari mana datangnya konflik? Dari dalam diri kita sendiri. Namanya konflik dengan diri, karena tidak menyukai diri. Karena tidak menerima diri, maka dilampiaskan kepada pasangan, bahkan kepada anak-anak.
Kalau benar sudah ditebus dan Yesus betul-betul menguasai, maka kita bisa mendemonstrasikan kemenangan iman di dalam konflik. Kuncinya berdoa dulu, tapi jangan salah berdoa, doa yang salah adalah doa yang memuaskan hawa nafsu.
- Selalu mengambil inisiatif untuk menyelesaikan konflik.
Tidak peduli apakah kita pihak yang dirugikan atau merugikan, korban apalagi pelaku. Tuhan mau kita berinisiatif menyelesaikan konflik. Jangan tunggu pihak lain. Saat disakiti pasangan, kita juga yang harus memulai inisiatif menyelesaikan konflik. Susah tidak? So pasti susah karena menyangkut gengsi. Jadi, apa ini cuma teori? Tentu tidak! Karena Tuhan menuntut demikian.
Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.
Saat teringat konflik, jangan beri persembahan pada Tuhan. Tidak laku! Bereskan dulu dengan pasangan, baru persembahan kita diterima oleh-Nya.
Sesungguhnya orang bodoh dibunuh oleh sakit hati.
Konflik yang simpan dalam hati sungguh adalah kebodohan karena manusia bisa dibunuh sakit hatinya. Daripada sakit hati terus dan terus kesal lebih baik kita aktif saja,“Boleh tidak saya bicara padamu sekarang untuk menyelesaikan keributan tadi?”
Sedapat-dapatnya bila hal itu bergantung kepadamu hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.
Tidak mudah menjalankan firman ini. Seringkali terlalu sombong untuk mengakui bahwa kita juga ada andil. Memang sangat sukar bila sama-sama merasa tidak bersalah! Akhirnya konflik tidak selesai-selesai karena saling menunggu.
Pernah saya mengaku salah duluan. Datang pada Liana,” Na, maafin saya ya…Saya yang salah tadi.”
Tapi Liana cuek beibe. Bagaimana tuh para suami, kalau digitukan isteri?
Wah…kita harus pulang ke step 1. Berdoa, supaya ada perubahan hati dari panas ke dingin. Walaupun ditolak tetap rendah hati.
Keberhasilan penyelesaian konflik sangat dipengaruhi oleh pemilihan tempat dan waktu yang tepat. Jangan selesaikan saat pasangan cape. Seyogyanya bisa ditunda untuk mencari waktu yang lebih baik, ketimbang makin ngomong makin ga karuan.
Jika waktunya belum ada, yang disakiti dapat memberikan clue,” Saya punya masalah…..(isi sendiri)……. Tadi saya merasa sakit hati, apa kamu besok ada waktu?” Pertanyaan diajukan dengan sopan dan lemah lembut. Pasti dia akan menjawab,”Ada dong waktu buat kamu.”
(bersambung)
- Perhatikan perasaannya.
Ini harus diperhatikan para pria. Ada yang berkata: Pria tidak punya perasaan, tapi punya otak. Sedangkan wanita punya perasaan tetapi tidak punya otak. Loh kok…?! Tentu tidak begitu maksudnya. Keduanya jelas punya otak dan perasaan di dalam derajad yang berbeda-beda.
Prinsip yang harus digunakan: Pakai telinga lebih dari mulut. Lebih banyak dengar daripada bicara. “Saat saya membicarakan hal penting dengan seseorang, saya mendengar dua kali lebih banyak daripada yang saya katakan,” begitulah Abraham Lincoln, Presiden Amerika ke 16 memberi nasehat bagi kita semua.
Daud berkata, “Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu.” Orang yang pahit dan kesal, dideskripsikan seperti hewan. Hilang akal budi. Kalau kita diminta mendengarkan orang yang hilang akal budi, pasti pusing delapan keliling. Orang yang sedang marah memang dungu mirip hewan. Penting menguasai diri supaya tidak ikut-ikutan dungu.
Bagaimana mendengar dengan baik?
Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.
Memperhatikan dalam bahasa Yunaninya Scopos artinya Telescope atau Microscope.
Intinya adalah memperhatikan atau memfokuskan pada satu hal. Tanpa mikroskop, bakteri yang sangat kecil tidak akan kelihatan. Prinsipnya, memperhatikan. Bukan hanya mendengarkan.
Memperhatikan membutuhkan konsentrasi, tenaga dan energi untuk melihat secara detil. Sering kita mendengar tanpa memperhatikan. Mendengar sambil baca koran, mendengar sambil nonton TV, mendengar sambil ketiduran. Ini bukan Skopos.…tapi Kropos.
Tidak mudah memperhatikan perasaan pasangan yang sedang marah. Perasaaan itu irasional, bila meledak bisa menuduh-nuduh. ”Kamu sih! Gara-gara kamu, ini semua terjadi.” Sudah memperhatikan, eh…eh…disalah-salahin lagi. Aduh… Cape deh. Kuatkanlah hatimu, ini baru step ke tiga, belum selesai.
- Mengakui bahwa kita juga berbagian dalam membuat kesalahan.
“Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”
Sadarlah, kesalahan tidak mungkin dibuat hanya satu pihak. Minta maaflah! Segala sesuatu yang terjadi, pasti ada bagian kita di dalamnya.
Jangan terus-menerus tangan menunjuk pasangan. Bila saat ini dia sedang kecewa, marah, sedih, dan putus asa. Percayalah pasti gara-gara kita juga dia begitu. Mungkin kita tidak merasa bersalah. Opini pribadi membuktikan begitu. Tapi yang jelas, karena satu dan lain hal, kitalah yang menyebabkan hatinya terluka. Mungkin waktu membela diri, kata-kata Anda terdengar kasar dan melukai hati. Mintalah maaf untuk itu.
Saat dengan rendah hati mau mengakui kesalahan, heran sekali kemarahan pasangan tiba-tiba reda. Pengakuan yang genuine sangat berkuasa untuk meredakan kemarahan.
- Bicaralah dengan lemah lembut.
“Usirlah si pencemooh, maka lenyaplah pertengkaran, dan akan berhentilah perbantahan dan cemooh.” Jika pasangan Anda suka mencemooh, bukan berarti Anda mengusirnya. Maksudnya, usirlah kebiasaan mencemooh. Buanglah kebiasaan berkata-kata kasar, dan berbicaralah dengan lemah lembut.
Di step ini, bicarakan pemasalahannya (Open Conflict). Bicara dengan lemah lembut. Tidak mencemooh atau membantah. Perhatikan perasaannya. Bijaksanalah berkata-kata.
Masuk dalam step terakhir, harus ready (bersiap diri). Open conflict tanpa persiapan namanya cari masalah! Bisa-bisa konflik makin menggurita.
Open Conflict Siap vs Tidak Siap
Open Conflict yang tidak siap. Mulainya dari sang suami yang ingin membereskan masalah kemarin hari.
Khui Fa (K): Na, kok kemarin marah-marah gitu?
Liana/Nana (N): Iya, kamu sih nyebelin!
K: Sebel kenapa?
N: Udah pulang telat, enggak bilang-bilang. Aku kuatir tahu!
K: Gitu aja kuatir! Kalo kuatir ya kuatir aja. Jangan marah-marah dong!
N: Emangnya kenapa enggak boleh marah?
K: Aku kan kerja! Pulang telat juga tidak kemana-mana. Kerja tahu!!! Pulang udah cape, dimarah-marahin lagi. Emangnya enak?!!
N: Eh…Tambah ngomong, kok tambah nyebelin!!?? Cari ribut ya……!??
Open Conflict yang siap lahir batin:
K: Na, kenapa siih kemarin kok marah-marah?
N: Iya, kamu sih nyebelin!
K: Oh, Sebel kenapa?
N: Udah pulang telat, enggak bilang-bilang, aku kuatir tahu!
K: Oh, maafin ya Na! Lain kali aku pasti bilangin deh. Sambil mengelus tangan isteri.
N: Janji ya.
Akhirnya, pelukan deh sambil sama-sama nyengir kuda.
Ingat-Ingat… “Kita harus fokus pada relasi dan bukan pada masalah itu sendiri.”
Masalah selalu ada, tapi relasi yang baik selalu dapat menyelesaikan masalah.
Mari kita hadapi konflik dengan dewasa! Are you ready?